Bagian 8

1.9K 158 17
                                    

Dirga melirik jam di dinding. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk tanya jawab. Diperhatikannya para peserta pelatihan yang kebanyakan berusia tiga puluhan.

"Nah ada lagi pertanyaan? Kita masih punya waktu tiga puluh menit sebelum coffee break."

Seorang peserta mengangkat tangan.

"Pak, mau tanya. Apakah seorang penderita HIV pasti melahirkan anak yang HIV positif juga?" tanyanya.

"Pertanyaan yang bagus. Tapi perlu kita pilah lagi. Apakah yang HIV positif itu si Bapak atau Ibunya? Karena kasusnya akan berbeda."

Dirga diam sejenak sebelum melanjutkan.

"Bila si Bapak HIV positif dan si Ibu HIV negatif, maka si anak pasti HIV negatif. Sedangkan jika ibunya HIV positif, kemungkinannya si anak bisa positif atau negatif. Karena itu, seorang Ibu yang HIV positif yang ingin memiliki anak harus berkonsultasi ke dokter. Biasanya Ibu itu harus meminum obat ARV alias anti retroviral untuk meningkatkan jumlah sel darah putih dalam tubuhnya. Ibu tersebut juga disarankan melahirkan lewat operasi caesar dan tidak menyusui bayinya," jelas Dirga.

"Kenapa harus operasi caesar, Pak?" ada lagi yang bertanya.

"Oh itu untuk meminimalisir pergesakan pembuluh darah antara si bayi dengan sang Ibu," jawab Dirga.

"Pak, kalau begitu, kenapa tidak dilarang saja semua perempuan HIV untuk punya anak?" celetuk seorang peserta.

Serentak peserta yang lain ikut mengeluarkan komentar setuju. Ada juga yang menolak pendapat itu. Ruangan menjadi riuh. Dirga tersenyum mengerti.

"Saya nggak setuju, pak. Punya anak kan hak azasi manusia. Nggak boleh dilarang!!" seorang peserta perempuan protes.

"Tapikan kalau anaknya kena HIV, kan nggak adil juga!!" sanggah yang lain.

"Kan tadi, Bapak Dirga sudah bilang, si Ibu itu disarankan melahirkan melalui operasi!!"

"Halah!! Lebih mudah, angkat saja rahim semua perempuan HIV!!" celetuk peserta lelaki.

Mendadak ruangan sunyi senyap mendengar komentar itu. Dirga ikut terhenyak mendengarnya. Keheningan itu tiba-tiba dipecahkan oleh sanggahan daripeserta lain.

"Nggak bisa seperti itu, pak. Berarti kita sudah mendiskriminasikan dia. Juga mengebiri haknya untuk memiliki anak!!"

Beberapa saat perdebatan itu masih berlanjut, hingga akhirnya Dirga menengahi dan meluruskan beberapa pandangan yang keliru tadi.

"Jadi dengan melahirkan lewat operasi caesar dan tidak menyusui bayi sendiri, persentase si bayi untuk tidak terinfeksi HIV dari Ibunya menjadi semakin besar. Setelah lahir, si bayi juga harus melalui beberapa perawatan untuk menjamin tidak tertular dari si Ibu. Hal ini disebut PMTCT atau Prevention Mother To Child Transmission."

Dirga melirik jam di dinding.

"Nah, sekarang kita coffee break dulu, setelah itu kita lanjutkan sesi berikutnya."

Semua peserta berdiri dan melangkah ke luar ruangan seminar menuju meja panjang yang berisi beberapa macam kue, kopi dan teh. Dirga sedang menyusun beberapa alat bantu seminar di dalam ruangan ketika Gulid melangkah masuk.

"Gimana respons peserta?" tanya Gulid.

"Cukup antusias. Hanya stigma dan diskriminasi itu masih kuat. Di sesi berikutnya bisa lebih kita tekankan lagi," sahut Dirga sambil melirik jam dan berpikir di sesi mana penguatan terhadap topik tersebut akan diberikan.

"Sesi berikut ini aku yang pegang. Nanti akan kita buat permainan saja untuk memasukkan penguatan tentang hal itu," saran Gulid.

Dirga berpikir sejenak sebelum mengangguk mengiyakan.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang