Bagian 2

3.1K 188 14
                                    

Gulid membuka pintu kamar kosnya. Diletakkannya tas dan bungkusan makan malam ke atas meja yang terletak di dekat pintu. Mukanya terlihat lebih lelah dan capek. Setelah menutup pintu dan menguncinya, ia merebahkan tubuh ke kasur. Sengaja ia tidak membeli tempat tidur karena hanya akan membuat kamar itu lebih sempit.

Entah sudah berapa lama ia memejamkan mata hingga nyaris tertidur. Ketika ponselnya berbunyi. Tanpa melihat caller ID, ia sudah tahu siapa yang meneleponya. Selama beberapa tahun terakhir ini ia sudah terlalu hafal dengan panggilan-panggilan rutin dua kali setiap hari. Terkadang membosankan. Tapi mau tak mau harus dijalaninya juga.

"Halo... "

"Lid, sudah tidur ya? Jangan lupa ya." sebuah suara hangat dan ramah terdengar.

"Oke."

Sambungan telepon terputus. Gulid menghela napas. Setengah memaksa tubuhnya untuk bangkit, ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari tas. Diambilnya beberapa butir pil dengan warna berbeda dan dimasukannya ke mulut. Dengan sekali tegukan besar air, semua pil tadi sudah hilang ke dalam kerongkongannya. Kemudian ia kembali merebahkan yubuhnya ke kasur.

Segala kerutinan ini terkadang membuatnya jemu dan lelah. Kadang ia nyaris berpikir untuk menghentikan semuanya saja. Tapi dukungan teman-teman yang begitu besar selalu mampu membuatnya mengurungkan niat itu. Yah, hanya dukungan dari teman-teman.

****

Dirga melangkah menuju ruang kecil di samping kamarnya yang telah disulap menjadi perpustakaan mini. Ia belum mengantuk dan memutuskan untuk membaca sebentar atau browsing internet. Rumahnya terasa sepi pada jam-jam seperti ini. Papa masih praktek di kliniknya. Biasanya sampai jam sepuluh malam.

Belum termasuk kalau ada persalinan pada malam hari. Apalagi klinik Papa adalah salah satu klinik dokter kandungan yang memiliki banyak pasien di Merauke bahkan di kota/kabupaten tetangga. Selain Dirga dan Papa, ada Bu Isah yang sudah bekerja dengan keluarga Dirga sejak Dirga masih Balita. Juga ada Fani anak Bu Isah.

Tatapan Dirga menyusuri buku-buku tebal kedokteran milik Papanya. Ia ingin membaca sesuatu tapi tidak terlalu yakin buku apa yang ingin dibaca. Sebenarnya banyak panduan pelatihan yang harus dipelajarinya, tapi ia benar-benar bingung bidang pekerjaannya kali ini benar-benar baru. Belum lagi topik HIV/AIDS yang rasanya masih terdengar asing di telinga Dirga. Bagaimana ia bisa menjadi konsultan yang baik, kalau masih awam dengan bidang tersebut.

Kadang Dirga bingung juga mengapa terpilih untuk pekerjaan ini. Mungkin karena pengalaman sebagai trainer di perusahaannya sebelumnya? Entahlah. Yang jelas, banyak hal yang harus dipelajarinya. Dan ia tidak punya banyak waktu. Setidaknya ia sudah harus menguasai pekerjaannya sebelum manajernya datang ke Merauke. Itu berarti kurang dari seminggu.

Terbayang dikepala Dirga tumpukan modul dan petunjuk yang tersusun rapi di tangannya. Hmm.. untunglah Gulid partner kerjanya cukup menyenangkan. Dirga tersenyum geli mengingat teman barunya yang periang dan easy-going itu. Dengan gaji tinggi dan suasana kerja yang menyenangkan, Dirga pasti akan betah bekerja di Asian Care Center.

****

Pagi yang cerah. Aroma pengharum ruangan yang mulai terasa familier di hidung Dirga menyambutnya ketika baru melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran. Satpam yang berdiri di dekat pintu langsung membuka pintu.

"Pagi Pak." sapa Dirga hangat.

Dirga melangkah menyusuri koridor-koridor. Sesekali dia menebarkan senyum dan sapaan setiap ada yang menegurnya. Ketika mendekati ruanganya, dilihatnya Gulid sedang berbisik-bisik dengan Luna. Ketika mereka melihat Dirga, Gulid segera melambaikan tangan memanggil.

"Ada apa? Pagi-pagi udah pada ngegosip." seru Dirga.

Luna dan Gulid tersenyum nakal.

"Lagi ngomongin si ganteng yang mau dateng nih." celetuk Luna sembari terkikik.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang