Bagian 17

1.6K 150 2
                                    

Mobil Dirga memasuki area parkir hotel. Diliriknya jam. Ah, belum terlalu sore. Dirga turun dari mobil dan menguncinya. Seorang doorman membukakan pintu dan Dirga melemparkan senyum terimakasih. Dilangkahkannya kaki menuju lift.

'Luna bilang kamar Rivi nomor 316,' pikir Dirga sambil menekan angka 3.

Saat lift bergerak keatas, pikiran Dirga semakin dipenuhi berbagai hal. Harinya pun mulai bergerumuh. Kalau dipikir-pikir, langkah yang diambilnya ini termasuk nekat. Tapi ia tak tahu bagaimana lagi. Ia juga perlu kepastian. Terlebih lagi, ia perlu tahu apa alasan Dhio menemuinya tadi malam.

'Hm... sebenarnya aku menuruti saran Gulid dan aktif mengejar Rivi nih,' pikir Dirga.

'Ah, tapi ini kan bukan mengejar. Lebih tepatnya, aku hanya ingin tahu di mana posisiku dan di mana posisi Dhio dalam kehidupan Rivi,' Dirga buru-buru mengoreksi.

Lift berhenti di lantai tiga dan pintu segera terbuka. Seketika kepanikan menyergap Dirga. Tapi dipaksanya juga kakinya melangkah kelur dari lift. Dirga menyusuri lorong hotel mencari kamr 316. Semakin mendekati , kebimbangan semakin menguasai. Ia betul-betul tidak tahu harus mulai dari mana.Apakah ia hanya akan mengatakan "Hai" terus apa?

'Jangan lupa, sampai detik ini status Rivi masih project manager,' ingat sudut hatinya.

Mendadak Dirga menciut. Astaga, tampaknya beberapa hari atau beberapa bulan terakhir ini fakta itu seakan terlupakan. Bagaimana kalau Rivi justru tersinggung dengan kedatangan Dirga dan malah memecatnya? Dirga meringis. Tapi setelah itu hidupnya akan tenang dan ia tak perlu memendam pertanyaan mengenai cinta Rivi dan keberadaan Dhio, sudut hatinya membela.

'Yah, semoga saja kedatanganku ke hotel ini tidak menjadi bumerang,' harap Dirga.

Kakinya sudah berdiri di depan pintu kamar 316. Tangannya sudah mau memencet bel. Tapi samar-samar Dirga mendengar suara Dhio. Dirga menempelkan kupingnya ke pintu. Suara itu semakin jelas. Kekecewaan menyelusup ke hati Dirga. Kenapa ia bisa begitu bodoh? Tentu saja Dhio menginap di hotel ini. Toh dia baru tiba kemarin sore.

"I'm really sorry, dear. But, I just want the best for you. You might not like the way I helped you," suara Dhio.

Kemudian terdengar suara lelaki lain. Suara Rivi. Dirga semakin menajamkan telinga. Untung kamar mereka terletak di ujung dan suara mereka cukup keras untuk didengar saksama dari luar.

"I Told you in the e-mail, didn't I?? Look! I don't want to do this anymore. I got no energy left for such things. I'm sorry too Dhio."

Kenapa mereka saling minta maaf? Apa Rivi merasa melakukan sesuatu yang membuat Dhio marah? Atau kalau memang Rivi menyukai Dirga, lelaki itu sedang meminta maaf karena merasa berselingkuh? Dirga semakin bingung.

"Ada yang bisa dibantu?" sebuah suara mengagetkan Dirga. Spontan ia berdiri tegak dan menoleh. Seorang petugas hotel, mungkin dari bagian housekeeping, sedang memandangnya curiga. Dirga tersenyum sambil menggeleng.

"Menginap disini atau mau bertamu?" Tampaknya petugas ini masih curiga.

"Ngg............. bertamu......"

"Ke kamar yang ini? Mari, saya bantu menekan belnya. Tadi ada orangnya kok," Tanpa sempat mencegah, petugas hotel itu maju dua langkah dan menekan tombol kamar Rivi.

Jantung Dirga serasa copot melihat kelancangan petugas itu. Lancang atau ingin membantu, entahlah. Yang jelas Dirga masih belum berniat memberitahukan kedatangannya ke Rivi.

Pintu kamar terbuka dan seraut wajah Rivi muncul. Lelaki itu terkejut melihat Dirga.

"Dirga?" seru Rivi heran. Dirga mengangguk kikuk.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang