Bagian 16

1.6K 147 16
                                    

Sebulan telah berlalu sejak kepergian Gulid. Rutinitas kehidupan kembali berjalan seperti biasa. Beban kerja di Asian Care Center kembali meningkat mendekati masa akhir proyek. Berarti waktu dua tahun hampir berlalu. Ada yang berubah, ada juga yang tetap seperti dulu. Tapi buat Dirga, semua tak sama seperti dulu lagi. Ada yang hilang dari hidupnya.

Hari demi hari, kehilangan itu terasa semakin menyesakkan. Apa lagi ia masih menempati ruangan yang sama dengan meja yang sama. Bedanya, ada sebuah meja di ruangan ini yang kini selalu kosong. Tak ada lagi lemparan kertas atau obrolan di sela kerja. Tak ada janji untuk makan malam di luar atau jalan-jalan bersama. Terkadang Dirga masih saja menoleh ke kanan seakan Gulid masih ada di mejanya. Tapi lagi-lagi ia harus kecewa. Meja itu kosong.

Dirga memperhatikan kalender di meja. Helaan napasnya terasa berat. Kenapa lama sekali waktu berlalu? Sementara ia mulai merasa tidak betah berada di ruangan itu. Tak sanggup lagi. Dirga menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

'Abang, kamu dimana? Aku ingin sekali bercerita denganmu!!' Rintihnya pilu.

Dirga keluar dari kantor. Sesekali kepalanya digerakkan ke kiri dan kanan mencoba menghilangkan pegal. Setelat apa pun dia pulang dari kantor, pekerjaan seperti tak ada habis-habisnya. Hanya beberapa bulan lagi, tapi rasanya lama sekali.

Entah kenapa Dirga sangat ingin proyek ini cepat selesai supaya ia bisa melanjutkan lembaran hidup yang baru. Kalau sekarang apa pun yang ia lakukan, selalu ada bayangan Rivi dan Gulid yang mengikutinya. Terlalu banyak kenangan bersama mereka. Dirga sudah tak mampu lagi menyimpan gejolak emosi itu. Cinta, persahabatan dan rasa kehilangan.

Dirga menghela napas berat. Kakinya menyusuri pelataran parkir dengan kepala setengah tertunduk. Pikirannya berkelana ke mana-mana.

"Dirga......!!"

Sebuah panggilan seperti terdengar dari jauh. Dirga tetap meneruskan langkah.

"Dirga.......!!"

Kali ini pangggilan itu terasa dekat. Dirga berhenti dan mengangkat kepala. Dan hal pertama yang dilihatnyaadalah sosok laki-laki yang tampan.

DHIO. Dirga terbelalak kaget.

"Dhio?" Dirga tertegun tak percaya.

'Kenapa dia ada di sini?' Pikir Dirga heran.

"Hai, Ga. Kamu udah mau pulang? Apa kamu keberatan menemani ku makan malam? Aku pengen banget ngobrol denganmu," ujar Dhio dengan sopan.

Dirga seketika menyipitkan mata, tak percaya. Untuk apa Dhio ingin mengobrol dengan dirinya?

'Mau melabrakku karena mengira aku merebut Rivi darinya?' Pikir Dirga waswas.

Tapi entah dorongan apa yang membuat Dirga menganggukan kepala.

"Karena Rivi selalu bercerita tentang ikan bakar. Gimana kalau kita makan disana?" Usul Dhio.

Lagi-lagi Dirga mengangguk. Dhio tersenyum puas. Beriringan mereka menuju jalan raya dan menyeberang. Sesekali Dira mencuri pandang ke arah Dhio, tapi tak berhasil menebak apa yang akan mereka bicarakan.

"Kapan kamu datang kemari?" tanya Dirga akhirnya sesaat setelah pesanan mereka datang.

"Tadi pagi. Kebetulan aku ada tugas ke Jayapura, jadi sekalian aku sempatkan mampir ke Merauke. Kebetulan ada direct flight."

Dirga mengernyit heran.

"Rivi nggak tahu kamu kemari?" tebaknya.

"Hm... tepatnya belum aku beri tahu," Dhio tersenyum.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang