Bagian 10

1.9K 161 8
                                    

"Ada hati yang termanis dan penuh cinta. Tentu saja kan ku balas seisi jiwa. Tiada lagi.. tiada lagi yang ganggu kita. Ini kesungguhan... Sungguh aku sayang kamu..."

Dirga tersenyum mendengar suara Gulid yang melantunkan lagu Kahitna dari kamar mandi. Ia berdiri di tengah-tengah kamar Gulid yang tidak terlalu besar. Diatas meja tersusun rapi kemasan obat bertuliskan nama hari. Dirga mengambil sebuah kemasan yang bertuliskan 'Sabtu'.

Setelah mengenal lebih baik, Dirga tahu betapa pentingnya keberadaan obat ini untuk penderita HIV. Obat yang harus diminum setiap dua belas jam secara teratur, tidak boleh terlalu cepat atau terlambat. Karena terlambat sedikit saja, maka konsekuensinya akan semakin besar. Obat tersebut menjadi tidak ada artinya. Itu artinya pengobatan harus dihentikan sampai ada petunjuk dokter lagi dan tentunya dengan dosis yang lebih tinggi.

Harus disiplin. Memang menjemukan.

Terdengar suara pintu kamar mandi yang dibuka diikuti langkah Gulid.

"Kenapa Ga?" tanya Gulid melihat temannya berdiri termangu sambil menggenggam sebuah kemasan obat.

Dirga membalikkan badan.

"Aku cuma terpikir, betapa meletihkan terikat dengan obat seumur hidup," ujarnya.

Gulid tertawa kecil.

"Kamu bicara seolah-olah umurku akan panjang."

"Kenapa Abang berpikir sebaliknya?"

Gulid mengangkat bahu. Tangannya sibuk merapikan rambut dengan sisir.

"Nuris hanya diberi waktu sedikit, kenapa aku mendapat waktu lebih lama?"

Dirga terdiam. Ia tidak suka nada bicara Gulid.

"Abang, kamu bicara seolah-olah nggak ingin hidup lagi," cetus Dirga.

Gulid menegakkan tubuhnya. Dipandangnya Dirga lama. Sinar matanya tampak aneh.

"Kamu mau aku bagaimana, Ga? Berharap seolah aku akan hidup selamanya? Berpikir bahwa aku nggak terikat dengan obat setiap hari seumur hidupku? Menganggap bahwa hidupku bebas dan tidak tergantung pada obat untuk memperpanjang nyawaku?" suara Gulid getir dan kering.

Dirga terenyak kaget. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Gulid mendengus kesal. Raut mukannya terlihat frustasi.

"Apa kamu pernah berpikir bagaimana rasanya hidup dengan lonceng kematian yang selalu berbunyi di telingamu? Pernakah terpikir bahwa setiap malam saat kamu tertidur, mungkin kamu tidak akan bisa melihat matahari esok pagi? Bahwa setiap saat dalam hidupmu, kamu selalu bertanya: Masih adakah waktuku untuk melakukan hal ini lagi? Masih adakah waktuku untuk bertemu dengan keluargaku? Atau aku akan mati sendirian di kamar kos ini? Apakah......." Gulid mulai tergugu dalam tangis pilu.

Dirga menggigit bibir kuat-kuat menahan keharuan yang menyesakkan dada. Ditariknya bahu Gulid ke dalam pelukannya, Tubuh temannya itu sesekali berguncang menahan isakan.

"Ssshhhh, jangan nangis....." bujuk Dirga. Tangannya membelai kepala Gulid. Bibirnya mengeluarkan gumaman untuk menenangkan Gulid.

"Aku mungkin nggak bisa menjawab semua pertanyaanmu tadi. Tapi aku hanya bisa menjanjikan satu hal. Aku nggak akan meninggalkanmu sendiri. Aku janji!!" bisik Dirga ikut terisak. Dipeluknya tubuh Gulid erat-erat.

"Aku nggak akan meninggalkanmu!" tegas Dirga sekali lagi.

****

Dear Diary

Aku sangat menikmati persahabatanku dengan Gulid. Dia teman yang istimewa. Terkadang aku menganggap Tuhan sengaja mengirim dia untuk menjadi teman sekaligus kakak buatku. Darinya, aku belajar banyak hal. Kini aku mencoba lebih berempati terhadap orang lain, apalagi terhadap teman-teman ODHA. Tidak seharusnya kita mencap negatif atau malah mendiskriminasikan mereka. Bukankah kita tidak bisa memilih jalan hidup kita sendiri?

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang