Bagian 14

1.7K 146 4
                                    

Dr. Poernomo melihat berkeliling dan mendapati Dirga sedang duduk di kursi di depan taman. Kepala Dirga tertunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Dr. Poernomo menghela napas. Ia bisa merasakan bagaimana perasaan putranya saat ini. Baru sekali ini Dirga memiliki seorang teman dekat dan sekarang terancam harus kehilangan sahabatnya itu.

Dr. Poernomo mendekat dan mengambil tempat di samping Dirga. Perlahan tangannya meraih bahu Dirga dan mendekatkannya ke dada. Tanpa suara, Dirga meluapkan tangisnya di dada Papanya. Kejadian beruntun dalam 2 x 24 jam ini benar-benar menguras emosinya. Dirga tak sanggup lagi mengeluarkan air mata, yang ia butuhkan hanya perlindungan dalam pelukan Papanya.

Ikut merasakan kesedihan putranya, Dr. Poernomo memeluk putranya semakin erat. Melihat kondisi Gulid, Dr. Poernomo tidak bisa berharap banyak kecuali keajaiban. Tapi semangat dan nyali Gulid yang terlihat samar dari matanya pasti bisa membawa perubahan pada kesehatan fisiknya.

Setidaknya untuk beberapa saat hingga Gulid itu keluar dari keadaan kritis. Saat ini jumlah sel darah putih atau CD4 Gulid menurun drastis. Mungkin faktor stres dan terlalu capek yang menjadi penyebabnya. Butuh waktu untuk meningkatkan kembali jumlah CD4-nya, semoga Gulid bisa bertahan.

"Papa...." panggil Dirga lirih.

"Ya.."

"Apa Abang bisa sembuh?"

Dr. Poernomo diam sejenak.

"Kesembuhan hanya dari Yang Maha Kuasa. Kita hanya bisa berusaha," sahut Dr. Poernomo hati-hati.

"Berarti Abang akan meninggal?" tanya Dirga langsung.

Dr. Poernomo tersenyum.

"Ga, kita pasti akan meninggal. Jangankan yang kena HIV, yang kena penyakit biasa saja pasti meninggal. Cara dan waktunya saja yang berbeda. Nah, kenapa nggak kita maksimalkan waktu kita yang tersisa ini?"

Dirga hanya mengangguk. Dengan lesu direbahkannya kembali kepalanya di pelukannya Papanya.

****

Empat hari kemudian. Gulid tersenyum melihat Dirga berdiri kaku di ambang pintu kamar rumah sakit.

"Kamu berniat masuk dan ngobrol di dekatku atau mau berdiri di situ sampai kaki kamu kesemutan?"

Dirga seketika cemberut mendengar ledekan Gulid. Kakinya melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur.

Gulid tersenyum.

"Aku kangen ngobrol denganmu," ujarnya dengan suara serak.

Dirga mengangguk.

"Aku juga kangen. Baru hari ini dokter membolehkan aku masuk."

"Apa kabarmu? Apa kabar kantor kita?"

"Kapan Abang bisa keluar? Kantor jadi sepi nggak ada Abang," ujar Dirga tak mengindahkan pertanyaan Gulid.

"Kamu kira aku betah di sini? Udah lama aku nggak chatting nih," keluh Gulid.

Mau tak mau Dirga tertawa mendengarnya, Gulid selalu mampu membuatnya tertawa.

"Eh, apa kabar Dini? Aku nggak bisa menunggu operasi hingga selesai. Kepalaku sakit banget Sabtu itu," Ujar Gulid tiba-tiba.

"Minggu kemarin aku melihatnya. Anaknya laki-laki. Kemarin dia baru keluar dari rumah sakit,"

Gulid memandang Dirga dengan senyuman lebar.

"Maaf kalau aku mendesakmu malam itu. Karena saat itu, setiap detik sangat berharga. Dan kamu kelihatannya keberatan kalau Papamu membantu Dini."

"Aku memang keberatan," angguk Dirga jujur. "Tapi untunglah Papa lebih keras kepala dibanding anaknya," sahutnya sambil tersenyum malu.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang