Dulu aku tidak pernah tahu, satu frame yang terjadi dengannya akan begitu melekat di kepalaku bahkan sampai beberapa tahun kemudian. Ingatan dan masa lalu memang tidak akan sungkan-sungkan untuk muncul dan menyebabkan beberapa gempa bumi kecil dalam hidup.
Banyak hal yang akhirnya membuat kita barangkali akan memutusan sesuatu. Sesuatu yang mengantarkan kita di masa sekarang. Dan keputusan-keputusan itu kadang-kadang di luar kendali kita. tanpa kita sadari terpilih begitu saja.
Seperti halnya pagi itu, pada semester lima di kelas analisis desain sistem informasi.
Kelas sudah ramai meskipun dosen ADSI belum hadir di kelas. Beberapa bangku paling depan sudah penuh dan hanya menyisakan sederet kosong bangku paling belakang. Entah mendapat ide dari mana anak-anak sedang insaf. Mengingat bangku belakang adalah bangku favorit saat kuliah, apalagi ketika ujian tiba.
"Nggak usah mengharapkan kita lagi rajin, Lan. Pak Arifin sedang tugas di luar kota. Tadi ada catatan dari asisten dosen. Kita disuruh presentasi sendiri." Rachmad si ketua kelas mengatakan alasan itu ketika melihatku terheran-heran.
Ya, aku tidak kaget kalau begitu. Tidak ada dosen, berarti kami bebas melakukan apa pun. Walaupun presentasi desain aplikasi yang diminta pekan lalu harus tetap dilakukan. Setidaknya kami masih bisa menyalakan mp3, membaca novel, mengerjakan tugas lain dan...
Ah, tugas kelompok.
"Nggak lupa bawa skenarionya, kan Lan?" Jay-teman sekelompokku yang aslinya bernama Wijaya-menyapaku bertepatan dengan ingatanku tentang janji untuk mengerjakan tugas English Engineering nanti setelah kelas ADSI.
"Kita kerjakan sekarang aja, Jay?"
Jay mengangguk sembari mengangkat ibu jarinya. Pemuda kurus tinggi itu berjalan ke belakang. Menarik kursi dan duduk dengan santai di sana. Aku baru mengikutinya setelah mengeluarkan skenario yang dimintanya untuk bahan diskusi. Satu hal yang lupa kutahu adalah, seharusnya aku mengecek bangku siapa yang sedang kududuki saat itu.
"Permisi, mbak." Seseorang menegurku dari belakang. Aku familiar akan suaranya sampai akhirnya aku menoleh dan mendapati pemuda itu berdiri di belakang kursiku.
"Mau ambil tas aja, kok. Pakai aja kursinya," katanya dengan senyum simpul yang hampir tak kusadari bahwa itu sebuah senyuman. Atau dia tidak tersenyum, hanya memiringkan bibirnya?
"Oh, maaf-maaf. Nggak tahu kalau kursinya punya orang," aku reflek berdiri dan membawa beberapa kertas yang belum sempat kuletakkan di meja. Belum juga aku mencari kursi lain yang entah sejak kapan tidak ada di sekitarku, dia berlalu dan mencari kursi lain yang sedikit jauh.
"Duduk di situ aja nggak apa-apa mbak, saya sudah dapat kursi kok," katanya setelah kembali.
Aku masih terbengong sampai akhirnya Jay mengetuk bangkuku dan membuat kesadaranku pulih.
"Mas Rafan orang baik, Lan. Udah duduk aja, nggak perlu sungkan." Jay memberikan opininya tanpa kuminta.
"Kamu tau darimana dia orang baik, Jay?"
Jay menoleh beberapa detik. Kukira dia tidak mengantisipasi jika aku bertanya begitu.
"Cowok bisa liat cowok itu baik, dari sikapnya, Alana. Lagian, bukannya suudzon itu nggak boleh ya?"
Aku meringis, "Aku kan cuma tanya, Jay. Bukan suudzon. That's the point, right?"
"So, the point untuk diskusi ini, akhirnya kita jadi bikin drama kayak gimana? Aku heran Mam Rina memberikan tugas drama untuk bahasa Inggris Teknik. Bukan tugas lain yang lebih relevan." kalimat terakhir Jay ini hanya serupa gumaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
Tiểu Thuyết ChungAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...