CERITA 27: Sampai Saat Ini

2.7K 162 1
                                    

Perempuan itu memakai baju warna navy dominan, bermotif kotak, dan berjilbab instan warna hitam andalan yang menjulur di depan dadanya. Itu bukan aku tentu saja. dia Anda. Sismiranda. Juniorku dulu saat aku masih bekerja di penerbit Noerani pusat di Jakarta. Dia asli Malang. Kuliah di kampus ternama daerah Depok dan diterima bekerja di penerbit besar. Yang pasti, kini wajahnya menatapku dengan sorot ingin tahu.

"Jadi, Mbak Lana tetap nggak mau balik ke redaksi?" tanyanya lagi.

Aku barang tentu menggeleng. Sedikit tersenyum karena dia sama saja sejak dua tahun lalu.

"Kita ini lagi temu kangen, atau kamu investigasi aku, Dek?"

Anda mengangguk beberapa kali, sembari menyeruput kopi hitam pekat yang entah bagaimana rasanya, aku sudah lupa. Sedangkan aku lebih memilih susu milo hangat. Cocok dengan cuaca Malang yang masih dingin sejak satu bulan lebih aku tinggal di sini.

"Mbak Lan, seriusan nih! Sebelum Anda balik Jakarta, pasti Anda ditanya sama Mbak Ruwi. Duh, kenapa juga Mbak Ruwi ditarik ke kantor pusat? Dan betewe Mbak, kita ini lagi di kedai kopi, loh! Bisa-bisanya Mbak Lana pesan cuma susu milo sama roti bakar? Liat Anda nih, kopi biji arabika dengan teknik seduh vietnam drip ..." Anda menjeda, sambil mengambil cangkir, berlagak membaui dan tersenyum akting penuh kenikmatan. Ia benar-benar fasih jadi bintang iklan white kopi.

"Enak, Mbak Lan! Dan menenangkan!" sambungnya lagi penuh penekanan.

Aku jadi curiga anak ini bukan jenis introver yang sering dia bilang. Anda cukup ceria walau melankolis akut. Mungkin itu yang membuatku nyaman dengannya. Dia paham seorang introver. Tidak dengan Alatas.

Akhirnya, setelah pertemuan itu namanya kusebut lagi. Walau tak seberat sebelumnya, karena kupikir aku hanya terkena kejutan sesaat. Alatas tak lebih dari buku dongeng yang pernah menjadi masa lalu. Dan masa lalu tak selalu menjadi masa kini dan masa sekarang. Tuhan lebih tahu tentang itu.

"Setelah promo novel, Mbak balik Jogja?" Anda menyenggol lamunanku lewat suara. Pertanyaannya malah menjadi pertanyaan kembali untuk diriku sendiri.

Jadi, aku harus kembali ke Jogja setelah ini?

"Belum tahu, Dek. Mbak perlu fokus sama naskah seri kedua yang sejak tahun kemarin belum selesai," jawabku setengah melamun.

"Pasti berat jadi Mbak Lana. Maaf kalau Anda bikin Mbak inget sama tahun lalu, ya? Nggak bermaksud bikin sedih."

Aku tersenyum tanpa getir. Ini sudah biasa, kan. Banyak orang yang berusaha menenangkan tetapi aku tak pernah tenang. Tapi gadis yang terpaut hanya dua tahun di bawahku ini berbeda. Dia mengubah pertanyaan seolah-olah untuk dirinya. Membayangkan bahwa dia jadi aku. Mungkin itu pula yang membuatku berani bercerita setelah sekian lama.

"Kalau bukan jodoh, Mbak juga ndak bisa ngasih alasan apa pun, Dek. Ada masa Mbak rasanya nggak bisa teralihkan, tetapi atas saran Mbak Ruwi akhirnya Mbak banyak pengalih juga."

Karena kini aku hanya berharap Adil tenang di sana. Adil, yang namanya akan kumasukkan dalam daftar sahabat dekat. Walau aku tak yakin sedekat apa kami sejak dia masih ada. Tetapi Adil tak akan mati dalam hati. Dia, selalu punya ruang sendiri.

"Ya ampun, Mbak Ruwi malah ngasih Mbak Lana kerjaan? Duh, gimana aku ntar coba?" Anda kembali menerobos lamunan keduaku. Mimiknya khawatir entah karena empati padaku atau karena Mbak Ruwi.

"Dia baik, loh, Dek. Sejak jadi anak magang, sampai akhirnya Mbak resign setelah hampir empat tahun kerja, Mbak Ruwi adalah mentor terbaik dan temen curhat andalan. Mbak kok yang butuh kerjaan itu. Cuma jadi proofreader, bukan editor. Sambil Mbak narik naskah tahun lalu buat diganti dari antiklimaks sampai epilog."

"Jadi, gimana akhirnya Mbak? Anda sempat baca sebelum diedit lagi, waktu Mbak masih di Jakarta, kan Anda proofreader-nya. Anda cuma penasaran sama tokoh ceweknya. Dia banyak persimpangan, sih. Walau Anda berharap dia sama si tokoh cowok pertama, tapi ya, siapa tahu. Kan Mbak sering buat twist yang bikin syok imajinasi pembaca."

Aku tertawa. Anda masih ingat naskah keduaku rupanya.

"Kukira kamu suka epilognya, Dek."

Anda secepat kilat meletakkan cangkirnya. Hampir saja tumpah isinya yang tingal setengah itu. Dia terlihat terkejut dengan pernyataanku.

"Kalau ending-nya balikan sama tokoh utama cowok, mungkin, Mbak. Tapi kan, Anda cuma baca sampai dua bab menuju akhir. Belum terakhir, belum epilog. Duh!"

"Ehehehe, Mbak masih pikir-pikir nih. Nanti kalau udah draft final, Mbak kasih tahu, deh."

"Ogah ah, Anda beli bukunya kalau udah buka pre order. Males banget kalau nanti ketipu Mbak Lana lagi."

Tawaku kembali mengalir karena Anda.

***

Aku pulang ke rumah Mas Yudhan. Masih pukul lima sore, tetapi rumah telah sepi. Mas Yudhan belum pulang dari acara milad di kampus yang membawa serta keluarganya. Satu pesan WhatsApp masuk di ponselku ketika aku gegas menuju lantai dua.

Pesan itu belum kubuka sampai aku meletakkan totebag andalanku yang hanya berisi ponsel, dompet, dan satu buku yang sedang kubaca. Aku memilih rebahan sejenak di ranjang sudut kamar persis di sebelah jendela tanpa balkon.

Satu bulan ini yang kulakukan hanya promo novel seri pertama dari kumpulan prosa Cerita Kopi. Padahal novel itu telah lama keluar. Hanya karena ada seorang influencer mengadaptasi tema darinya dan membuatkan sebuah web series di channel YouTube, novel itu meledak kembali. Dengan sampul baru yang memang lebih manis, dan pemadatan isi yang lebih baik dari versi cetakan pertama.

Itulah yang akhirnya membuatku kembali promo. Beberapa kali ikut talkshow bersama tim penerbit dan sesekali pemain live action-nya. Juga cara paling tepat untuk tidak menyesali diri.

Masih kuingat pesan Mbak Ria padaku bahwa apa-apa yang terjadi memang telah digariskan. Sudah tercatat pada skenario terbaik Sang Sutradara semesta. Yang patut dilakukan adalah merelakan dengan sepenuh ikhlas, dan kembali mengingat tentang kematian untuk wawas diri. Bahwa dunia adalah fatamorgana keindahan.

"Dan sebuah titik takdir perihal jodoh, yang penting Alana sudah sepenuh tawakal. Mbak tetap berdoa, Alana mendapatkan yang terbaik dari Allah."

Tring!

Pesan kembali masuk ke nomor WhatsApp, tepat saat aku memejamkan mata hampir terlelap. Kuputuskan untuk membukanya. Nomor baru yang tak kusimpan dalam kontak, tetapi aku yakin mengenali gaya bahasa pengirim pesan.

Aku nggak mau tahu, besok di Masjid Abdul Fatah, ya? Harus! Ada kajian bagus.

-Lya-

Lya ke Malang. Atau dia sudah pindah ikut suaminya, aku tak paham. Tetapi Lya membuatku ingin segera menyambut esok hari. Bertemu kembali dengannya setelah berpuluh bulan terlewati, adalah kerinduan yang menumpuk. Sebab aku memang perlu teman bicara dari hati ke hati khas perempuan.

Tetapi yang membuatku terpaku, ada satu pesan yang lain, yang lebih dahulu datang daripada pesan Lya. Satu pesan dengan nomor yang tak pernah berubah sejak tujuh tahun lalu. Orang yang sama, yang memberikan kartu namanya sejak terakhir kali aku bertemu di event bincang buku.

Sampai saat ini, laki-laki itu selalu memberikan kejutan.

****

kredit gambar ada di sini: http://www.esquire.co.id/article/2016/3/2831-Kopi-Vietnam-Minuman-Pinggir-Jalan-Berkelas-Dunia

Cerita KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang