"Sehat kan, Lan?"
Aku cukup tersenyum ditanya begitu oleh Lya. Tentunya, bola mata gadis itu sudah berputar, siap menanti penjelasanku lebih lanjut.
"Alhamdulillah, baik, Ly. Kamu apa kabar? Tambah makmur aja, ya?" Sengaja kulirik dirinya lekat-lekat.
"Hei! Apa maksudnya dengan tambah makmur? Gendut?" Lya tak terima. Aku tertawa pelan menanggapi reaksinya yang berlebihan.
Gadis itu sebenarnya tak berubah. Lya tetap sahabatku sejak awal masuk kuliah. Dia energik dan reaktif. Yang berbeda hanya, wajahnya lebih beraura. Tampak bahagia.
"Kamu segitu cintanya sama suamimu?" kataku iseng. Lya tersipu-sipu sendiri setelah melihat ponselnya.
"Loh, harus dong! Kajian tadi juga bahas tentang mencintai seumur hidup pasangan Anda!" Dia tertawa.
"Jangan bikin ngiri, deh." Setengah malas aku berujar. Hanya agar Lya merasa menang. Yang tak kuantisipasi adalah balasannya kemudian.
"Itulah kenapa aku ngajak kamu ketemuan, Lan. Aku di sini, dengan segala niat baik, ingin menyodorkan proposal seorang laki-laki yang kutahu ... padamu."
Apa?
"Untuk apa?"
Lya memelotot, "Untuk apa! Tentu untuk dicomblangin sama kamu!"
Beberapa detik. Kalimat Lya barulah kuserap dalam pikiran. Kesimpulanku hanya, "Kamu bercanda, Ly? Ahahaha."
"Eh, nggak usah ketawa gitu, deh. Nggak lucu! Bercanda gimana, sih? Beneran, nih! Gimana?"
"Temen suamimu, ya?"
Dia mengangguk!
"Makasih."
"Doang? Lan, aku beneran mau ngenalin. Dia ... yah, walau aku nggak bisa bandingin dia sama almarhum Adil, tetapi I know him. He's good. Mas Handi kenal dekat beliau."
"Thank you!" kataku tulus.
"Mau ikhtiarin?" desak Lya halus.
"Insyaallah. Tapi, aku belum bisa ngasih jawaban dalam waktu dekat, ya?"
"Seenggaknya kamu nggak nolak, Lan. Aku udah bersyukur. Yah, satu tahun bukan waktu yang cukup lama, tapi bukan pula waktu yang sebentar. Aku paham kamu perlu waktu. Dan Insyaallah, aku yakin kamu lebih tahu apa yang menjadi pilihanmu. Atau kamu ada kandidat lain? Aku lupa belum tanya."
Tak sedetik pun aku ragu untuk menggeleng. Seolah lega entah karena apa, Lya mengembuskan napas cukup keras, dan panjang.
"Tapi ..."
"Tapi?"
"Alatas menghubungiku, Ly. Aku ngga sengaja bertemu dia bulan lalu. Dia nawarin kerjaan."
"Alatas? Mas Rafan maksudmu?"
Aku mengangguk.
"Lalu ada hubungannya ... tunggu! Jangan bilang kamu mempertimbangkan dia? Oh, Lan, beneran?"
Aku tak menjawab. bingung juga dengan tawarannya. Alatas menghubungiku kemarin. Setelah dia mengirimkan pesan via WhatsApp, dia menelepon dan memintaku untuk bertemu di kantor barunya. Dia menawarkan kerjasama, yang tak begitu lengkap dia jelaskan. Pekerjaan jangka pendek. Sesuai jadwalku tinggal di Malang.
"Lan! Jawab dong! Aku penasaran, nih."
"Aku juga nggak tahu, Ly. Aku bingung. Tahu dari mana dia kalau aku masih di Malang? Pekerjaannya pun, aku nggak bisa langsung nolak, sih."
"Pekerjaan?"
"Iya, pekerjaan. Mas Rafan menghubungiku untuk menawari pekerjaan. Aku bilang gitu."
Seperti baru menyadari situasi, Lya cengengesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
Fiksi UmumAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...