CERITA 7: Tak Tertebak

4.4K 208 3
                                    

Akhir bulan Mei. Deras hujan mengguyur kota Malang. Lebih tepatnya di area kampus. Aku masih terpaku pada banyak berkas yang harus kuperiksa. Pergantian pengurus untuk komunitas kepenulisan tempatku bernaung cukup menyita waktu. Padahal liburan sudah berlangsung mulai hari ini.

Hari ini ada sidang umum untuk seluruh departemen kepenulisan. Ada tiga departemen di bawah komunitas yang kuikuti itu. Ilmiah, jurnalistik dan sastra. Aku tergabung dalam departemen sastra. Walaupun sebenarnya aku cukup menaruh minat di bidang jurnalistik. Tetapi, waktu dan tenaga tak memungkinkanku untuk mengikuti keduanya.

Ternyata sudah dua tahun aku bergabung. Tidak terasa setelah ini kegiatanku tidak akan sepadat dulu. Tidak ada rapat sampai larut, tidak ada diskusi hingga mengabaikan tugas kuliah esok hari. Setelah setahun menjadi salah satu pengurus, aku hanya akan menjadi anggota. Dan bisa diperkirakan aku akan lebih pasif dari sebelumnya karena kesibukan magang di semester depan juga praktek lapangan.

"Lan! Lana!"

Aku terkesiap begitu bahuku diguncang walau pelan. Jia rupanya. Ia mengerutkan dahi menatapku. Tampak bingung.

"Kamu nggak fokus ya?" tanyanya langsung. Aku menggeleng dan tersenyum. Tidak perlu juga membagi apa yang kurasakan padanya.

"Dasar! Udah selesai berkasmu? Mana sini! Ketua.. maksudku mantan ketua mau lihat."

Aku menyodorkan sebendel kertas yang tadi sudah kuperiksa. Itu laporan pertanggung jawaban yang harus kukumpulkan hari ini. Setelah laporan itu diterima dan disetujui seluruh pengurus pada periodeku. Kami resmi melepas jabatan dan menyerahkan tanggung jawab pada pengurus berikutnya.

"Setelah ini mau ke mana?" Jia kembali bertanya sekembalinya dia dari tempat mantan ketua komunitas kami.

"Mau makan mungkin, terus balik ke indekos. Kenapa?"

Jia memutar bola matanya. Bibirnya yang kecil mencebik dan diarahkan padaku. Aku sedikit terkekeh melihat dia selalu seperti itu. 'Penyakit'nya tak sembuh-sembuh. Penyakit tak langsung pada intinya.

"Maksudku agenda liburanmu. Mau pulang kampung atau masih ada urusan di sini?"

"Katakan dari awal jika itu maksudmu Ji. Kalimatmu terlalu ambigu."

"Apapun itu, Lady!"

Aku tidak segera menjawab. Aku sendiri sebenarnya bingung ingin pulang kampung ke mana. Ke rumah lama di Kediri. Atau ke Jogja saja. Tetapi Jogja terlalu jauh.

"Entahlah, aku juga bingung. Orangtuaku baru satu tahun terakhir pindah di Jogja, semenjak Bapak pensiun, tetapi aku sama sekali belum mengunjungi mereka."

Jia berpaling ke arahku sepenuhnya setelah sebelumnya dia hanya berkutat pada artikel yang sedang ia kerjakan.

"Ke Jogja deh. Ortu pasti kangen banget. Dan Jogja lebih seru, Lan. Kali aja bisa ketemu jodoh!" sarannya. Yang terakhir sungguh menggelikan.

Hanya kuangkat pundakku karena aku sendiri masih bingung.

"Kalau tetap bingung, makan aja yuk!" tiba-tiba Jia sudah mengalihkan topik.

"Kenapa ngajak tiba-tiba? Masih hujan tuh!"

"Emang nggak lapar? Alah, cuma melipir ke belakang aja, nggak bakal basah kuyup juga.'

Aku meringis. Jia menang. Karena aku memang lapar. Tetapi rapat belum resmi ditutup. Mana bisa keluar sekarang?

"Jangan khawatir, setelah ini hanya urusan anak-anak pengurus baru. Cabut deh sekarang." kata Jia. Bahkan dia sudah membereskan laptop dan beberapa berkas yang entah apa. Segera ia bangkit dan berjalan keluar ruangan. Aku yang belum apa-apa, terburu-buru memasukkan barang dan mengejarnya.

Cerita KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang