Siang itu setelah rapat redaksi akhir bulan, kusempatkan untuk mampir ke Omah Kopi Jogja. Tidak ada pertemuan anak-anak pecinta buku, tidak ada janji dengan beberapa penulis yang sudah jatuh cinta dengan kedai ini ketika aku merekomendasikannya, tidak ada acara bedah buku dari penerbit tempat Mas Rijal bekerja yang menjadi incaranku. Aku hanya ingin minum kopi. Sendirian.
Omah Kopi Jogja agak sepi siang itu. Barangkali karena sudah melewati jam makan siang. Aku datang ketika Mas Rijal akan pergi ke kantor penerbitan. Ada buku baru yang harus ditinjau ulang katanya. Karya ustaz yang kugemari buku-bukunya juga tausiyah-tausiyahnya. Tetapi nanti dia akan kembali, setidaknya untuk mengobrol perkara novelku yang sudah selesai cetak dan dia kuminta sebagai proofreader-nya.
Aku membuka beberapa surel setelah menyesap cappucino favoritku. Perpaduan kopi, susu dan krimer yang menyatu harmoni, racikan Mas Rijal sebenarnya yang paling nyaman dengan lidahku, dia akan menambahkan ekstra susu jika aku yang pesan. Perempuan yang jarang-jarang meminum kopi jika tidak terlalu membutuhkan. Tidak seperti Alatas yang sangat menyukai kopi ini di situasi apa pun. Jika hujan dia minta yang panas, jika panas dia minta di-blended dan kupikir Mas Andi sudah sangat hapal pesanannya itu dulu ....
Tunggu!
Aku hampir mengetik namanya di kolom pencarian media sosialku yang terbuka. Untung saja kuurungkan sebab ada surel yang baru masuk. Kualihkan kursor pada kotak masuk. Nama akun Mbak Ria tertera di sana. Ada pesan singkat di badan email diikuti satu lampiran file yang telah kucurigai sebelumnya.
Sebuah CV.
Pesan Mbak Ria hanya beberapa kalimat, seperti, salam, dan pemberitahuan bahwa itu CV yang ia janjikan padaku sepekan setelah aku mengirim CV-ku padanya. Tentu saja bukan CV kerja, melainkan CV untuk bertukar proposal taaruf.
Sesuatu yang aneh menyerang perutku. Rasa tegang dan geli yang bercampur. Antara jantung yang berdegup walau beberapa detik, dan rasa penasaran pada CV itu. Siapa? Bagaimana ini? Dan seluruh pertanyaan yang tiba-tiba terbendung seperti tsunami di otakku. Tetapi aku memilih untuk mengabaikan CV itu dulu. Cukup diunduh, nanti setelah Mbak Ria mengirimiku pesan di Whatsapp, baru akan kubuka. Atau setelah aku istikharah lagi. Aku belum memutuskan.
Pikiranku masih tertuju pada jendela layar kerjaku ketika Mas Rijal masuk kedai dan berucap salam pada semua orang dengan suaranya yang dalam tapi menjangkau seluruh ruangan. Mungkin dia tak sadar telah berteriak.
"Hei, Lan! Kukira kamu wis pulang," kata Mas Rijal. Ia tidak langsung menghampiriku, tetapi berbelok ke dapur, meletakkan tasnya di meja kerja, kemudian baru kembali di balik meja kopi. Aku memang memilih bertengger di kursi depan meja barista daripada di kursi-meja duduk pengunjung. Seseorang yang ke sini sendirian tentunya akan memilih kursi yang sama sepertiku, kurasa.
"Belum, Mas. Kan Lana mau nyerahin bendelan ini." Kuserahkan buku yang baru pagi tadi selesai cetak padanya.
"Wah, akhirnya lahir juga novelmu, Lan. Selamat, ya?" jawabnya sambil menerima. Beberapa detik kubiarkan ia melihat-lihat buku itu.
"Nanti kubaca ulang, ya? Kata editormu ada perubahan, nggak?" Mas Rijal meletakkan bukuku, dan beralih menatapku yang berada tepat di depannya yang terhalangi stoples-stoples tinggi bening berisi biji kopi dan beberapa set peralatan untuk meracik biji wangi itu.
"Sedikit, di bagian ending. Yah, aku nggak bisa kasih banyak bocoran kali, Mas."
Mas Rijal nyengir, lalu dengan kode telapak tangan yang dapat diartikan 'tunggu sebentar', Mas Rijal berjalan menuju meja kerjanya di pojokan dekat pintu dapur.
Dia kembali tak lama dan menyerahkan sebuah buku.
"Buku baru Ustaz Abdullah, kesukaanmu, kan? Bulan depan di Islamic Fair beliau diundang buat bedah buku. Datang, ya?" kata Mas Rijal, menyerahkan buku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
Ficção GeralAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...