"Sudah diputuskan, Lana?"
Kalimat sebaris lepas Ashar itu tak segera kujawab. Di serambi masjid langganan setelah kajian pekanan bersama beberapa teman, aku sudah diminta Mbak Ria untuk pulang belakangan. Padahal yang kuinginkan sekarang adalah ke kontrakan dan menghabiskan waktu untuk tidur setelah semalam baru pulang dari pernikahan Lya di kota paling ujung Pulau Jawa. Tiba-tiba aku jadi iri dengan Nindya, anak itu pasti sudah rebahan di sofa depan televisi sambil makan keripik tempe.
"Kamu denger Mbak, Lan?"
Aku tergeragap, "Oh .. eh, iya Mbak?"
"Gimana jadinya? Ini sudah sebulan lebih kamu diamkan proposal ikhwan. Kamu udah baca kan?" Mbak Ria terlihat gemas. Tetapi aku hanya menyengir untuk menanggapi kalimatnya.
"Sebenarnya, Alana bahkan belum buka proposalnya, Mbak," kataku agak merasa bersalah.
Mbak Ria menghela napas, dan cukup panjang. Aku yang mengamati beliau jadi tambah merasa tak enak.
"Lama sekali?"
"Alana kena deadline naskah sebulan terakhir ini, Mbak. Maaf kalau terkesan membuat alasan."
"Kamu sendiri sudah mantap menikah? Gimana dengan istikharahnya? Ada sesuatu yang bikin kamu termotivasi?" Mbak Ria berusaha tenang, tetapi tetap mengejar.
Aku menggeleng. Selama ini sudah beberapa kali istikharah sebelum salat malam, tetapi tak pernah ada kemantapan.
"Lalu, kamu mau mundur?"
"Bisa, Mbak?"
"Lana! Mbak serius, loh!" Mbak Ria sedikit menggeram, tetapi tak terlihat marah. Malah seperti putus asa.
"Kalau mau mundur, baca dulu proposal ikhwan-nya. Coba analisis bagian mana yang kamu nggak sreg sama dia. Kalau nemu, kasih tahu Mbak. Biar Mbak bilang ke suami, untuk menyampaikan ke ikhwan-nya." Mbak Ria menyambung.
"Boleh Mbak, kayak gitu?"
Sebelum menjawab, Mbak Ria kembali membuang napas panjang, "Sudah kepalang basah. Kamunya nggak mau. Mbak bisa apa?"
"Maaf ya Mbak?"
"Lana, buat introspeksi diri juga, baik Mbak juga kamu. Mbak akan introspeksi apakah Mbak yang terlalu bersemangat nyomblangin kamu. Tetapi kamu juga, ya? Coba apa kira-kira yang mengganjal dalam hati kamu sampai kamu belum bisa lanjut. Atau yang paling dasar, belum ada keinginan untuk menikah. Coba kita renungi ya? Maaf kalau Mbak banyak salah karena proses ini."
Aku semakin menunduk. Ingin terus-menerus meminta maaf tetapi percuma. Mbak Ria benar. Yang perlu dilakukan adalah bertanya pada diri sendiri. Dan sore lepas Asar itu membuat kantuk dan lelah hilang. Sebab ada satu beban mahaberat yang pada akhirnya membuatku terjaga semalaman. Siapkah aku menikah?
****** dua tahun kemudian *****
"Assalamu'alaykum, Mas Rijal! Halo Mbak Ratih!"
"Wah, lihat siapa yang datang, nih! Wa'alaykumsalam, Lana. Sekarang tambah hits aja, ya? Sini-sini, mumpung ada anak-anak juga. Kamu kapan sampai Jogja?" Mbak Ratih lebih dulu menghampiriku. Kuberikan beberapa oleh-oleh dari Jakarta untuk mereka dan mengambil tempat duduk bergabung dengan rekan-rekan Majlis Baca.
"Udah semingguan kok, Mbak. Udah ngurus pindahan juga. Hehehe."
"Loh, pindah lagi ke kantor Jogja?" Mas Rijal bertanya.
Aku menggeleng, "Aku resign, Mas. Fokus di novel kedua aja sekarang. Sambil nyari ilmu lain-lain. Hehehe. Kerjaan kalau diturutin banyak maunya," ujarku mencoba bercanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
Fiction généraleAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...