"Nggak bisa hadir?"
"Nggak"
"Kenapa?"
Aku sudah tidak berniat menjawab kalimat Vita. Tingkat kebingungan lebih menguasai diriku. Betapa tidak jika hari ini adalah hari di mana seluruh tim harus mempresentasikan progres proyek tugas akhir. Sedangkan timku sendiri sudah dipastikan tidak bisa presentasi.
"Ditunggu dulu aja, Lan. Kali dia telat," Vita berusaha membesarkan hatiku. Aku berterima kasih padanya. Namun tetap tidak bisa mengurangi kegundahanku.
Aku paham mengapa Alatas tidak bisa hadir walau dia tidak mengabariku. Aku memaklumi jika dia memiliki urusan yang lebih penting daripada kuliah. Tetapi, tetap saja rasa kecewa itu ada. Kehadirannya bagai harapan yang tiba-tiba sudah merasuk terlalu dalam.
Aku juga tidak mengerti. Sepekan berakhir dan disambut hari Senin adalah suatu percikan kegembiraan yang tidak kutahu muncul darimana. Kenyataan akan bertemu Alatas yang membayang. Dengan berbagai tebakan-tebakan cerita apa yang akan bergulir di dalamnya. Apakah tentang kerjaannya yang menumpuk. Rapatnya yang tidak bisa ditunda, atau selingan curahan hati yang tak pernah ia ceritakan, namun selalu membuatku penasaran.
Entah sejak kapan cerita-ceritanya itu terasa sangat menyenangkan dan membuat ketagihan. Walau tidak untuk hari ini. Kenyataanya dia tidak masuk. Tanpa kabar. Diperparah dengan beban progres proyek yang tak mungkin dilaporkan tanpanya.
Desahan berat mengucur tanpa sanggup kutahan. Bahkan dentuman jantungku sudah tak normal. Alatas tidak mungkin hadir. Ini sudah lewat dari sepuluh menit. Pak Ady sudah membuka kelas dengan salam. Alatas tidak akan masuk walau tetap saja harapan agar dia datang untuk menit-menit berikutnya masih ada.
Tiga puluh menit berlalu. Pemuda itu belum muncul. Otakku memutar ide untuk menyusun progres. Setidaknya aku harus melaporkan sesuatu. Namun sama sekali tidak ada ide. Semuanya belum matang dibicarakan dengan pemuda itu. Apa yang akan kulaporkan?
Satu jam perkuliahan. Sudah pasti dia tidak datang. Namun aku enggan bertanya padanya. Walau rasanya banyak sekali pertanyaan yang kusimpan rapat-rapat dalam hati. Kenapa ia tidak datang? Dia sedang di mana? Apakah dia keluar kota lagi? Dan seterusnya. Hingga namaku dan namanya dipanggil berurutan.
Aku menghadap Pak Ady. Tanpa sketsa progres. Tidak ada yang berhasil kurancang. Tak ada ide yang muncul bahkan di menit terakhir. Tidak biasanya aku begini. Alatas tidak muncul. Pak Ady menegur habis-habisan. Aku sudah tidak bisa menangkap apa pun penjelasan beliau kecuali, aku dan Alatas dipastikan tidak akan mendapat nilai A dan ungkapan kecewa beliau pada kelompok kami.
Dan perkuliahan itu berakhir. Tanpa Alatas. Tanpa rancangan proyek. Tanpa semangat senin seperti pekan lalu. Bahkan aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak menggenang. Ini pertama kalinya aku ditegur keras oleh dosen. Ini pertama kalinya aku tidak rapi dalam mengerjakan tugas. Dan ini pertama kalinya aku sungguh-sungguh kecewa karena ketidakhadiran Alatas.
***
Sejak ketidakhadiran Alatas di kelas Senin kemarin, rasa-rasanya aku sudah tidak tertarik dengan kelas mobile system. Seolah-olah Pak Ady, dosen pengampu di mata kuliah itu pun sudah memberikan blacknote pada kelompok kami. Bahkan mood untuk mengikuti perkuliahan lainnya pun ikut terganggu.
"Ada masalah, Lan?" Lya menyadari perubahanku itu. Semenjak banyak beban tugas akhir selepas tengah semester, semua mahasiwa angkatanku menjadi supersibuk. Terutama semenjak kaprodi mengumumkan bahwa kami anak angkatan tahun ketiga sudah harus memikirkan judul untuk skripsi.
"Eh, nggak, Ly. Ini aja sih, kayaknya resume-ku kurang." Aku sibuk menyusun tugas meringkas yang diberikan dosen matakuliah keselamatan kerja. Berharap Lya tidak mengorek lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
General FictionAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...