"Jadi, ini yang bakal jadi calon administrator dan editor?" seorang laki-laki awal 40-an bertanya pada Alatas, disusul beralih pada kami, aku dan Alma, setelah rapat usai dan diselingi ngobrol santai.
Alatas mengangguk sambil tersenyum miring, "Alana ini yang kubilang teman kuliah saya Mas Wawan, Pak Satya."
Mas Wawan yang bertubuh sedikit besar tinggi manggut-manggut, sedangkan Pak Sat, yang berkepala plontos tersenyum jenaka, "Oh jadi ini calonnya?" celetuk beliau lalu menatapku. Aku yang tak menduga berjingkat kaget walau hanya lewat ekspresi. Alatas cerita apa memang pada beliau?
Tanpa perlu menjelaskan apa pun, laki-laki itu tertawa dan mengangguk. Semua yang ada di ruangan heboh tertawa-tawa dan meledek, bahkan Alma menyikut-nyikut lenganku.
"Haha, calon editor, rekan-rekan! Kalian ini menduga apa coba?" akhirnya pemuda itu mengklarifikasi. Info yang sangat terlambat jika untuk meredam ledekan kawan-kawannya.
"Calon yang lain juga nggak papa, Mas Rafan, sudah waktunya," Masih dengan mata jenaka Pak Sat meledek.
"Mana mau Alana sama saya, pak? Lulus juga belum," jawab Alatas nyengir, lalu menoleh padaku.
Aku hanya meringis. Tidak ingin membiarkan gosip ini berkembang, tapi sebagai pegawai baru dan masih magang tidak tahu caranya.
"Makanya, cepetan tuh lulus, cari uang yang banyak, terus ngelamar mbak Alana. Ya mbak?" seru Pak Sat yang kelihatannya doyan guyon.
Mendengar itu aku sudah tidak mampu berkata apa pun, tawa masih berderai di antara rekan-rekan kerja baruku, dan Alatas sama sekali tidak membantah. Aku hanya berdoa, ini hanya lelucon mereka saja. Agar hati yang sedang kukendalikan tidak ikut terbawa suasana.
***
"Tadi udah nge-fix acara buat akhir pekan ini, Lan. Kamu bisa datang?"
Alatas menghampiri meja kerjaku di sudut ruangan dekat jendela saat jeda makan siang. Hari ini aku berjaga sendirian bersama dua anak SMK yang sedang prakerin. Alma tidak bisa izin dari KKN kecuali sabtu malam. Para wartawan masih berkeliaran mencari berita. Sedangkan dua bos besar sedang keluar untuk tender baru, entah apa.
"Acara apa, Mas?"
"Di gedung serba guna balaikota. Jadi ada peluncuran buku dari Dewan Kesenian Malang tentang Pesona Budaya Malang. Kita jadi EO gitulah, kerja sama dengan DKM dan penerbit buku dari Balai Budaya." Alatas menjelaskan sembari memberikan susunan acara padaku.
"Mungkin selesainya agak malam, kalau kamu ada jam malam, boleh pulang dulu. Oh, ajak Mbak Alma juga ya, Lan."
Aku hanya mengangguk dan melihat Alatas berlalu menuju lantai bawah. Mungkin dia akan keluar lagi. Aku tak pernah tahu jadwal kapan dia masuk kantor atau pulang. Terkadang lelaki itu sudah datang pagi-pagi sekali saat semua orang belum hadir, tapi tak jarang dia sama sekali tidak mengunjungi kantor dan hanya memberikan arahan dari grup. Dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri.
***
"Lan, ngopi dulu nih!"
Mas Andy memanggil ketika aku sudah berkemas untuk pulang. Kulihat hujan menderas dari setengah jam yang lalu. Aku memutuskan untuk ikut nimbrung dengan Mas Andy dan Ibuk alias Ibu Sinta, seorang juru masak kafe ini yang belum pulang. Tentu saja, ini masih lepas Asar. Mereka baru pulang jam sepuluh malam nanti.
Aku menghampiri meja bar Mas Andy. Mengamatinya menggiling kopi dan menyiapkan beberapa hal untuk membuat kopi. Racikan Mas Andy hanya kunilai enak. Tak ada penilaian lebih sebab aku tak begitu suka kafein kecuali cappucino. Tetapi, Alatas menyukai kafein. Bahkan aku pernah melihat satu teko penuh kopi di meja habis dengan satu cangkir yang membekas ampas kopi sampai pagi di mejanya. Aku mengira dia begadang di kantor waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
General FictionAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...