"Kayaknya aku salah kostum, deh, Lan!"
Aku menoleh pada Alma. Wajahnya agak khawatir setelah mengetahui bahwa acara yang dimaksud Alatas untuk kami datangi adalah acara resmi yang mengundang perwakilan pemerintah dan beberapa tokoh penting yang tak kumengerti dari kalangan mana saja.
Alma menghentikan lajuku saat kami baru saja keluar dari parkiran. Ia semakin tak yakin masuk sebelum satu ide absurdnya yang baru tercetus ia utarakan.
"Aku balik kos ajalah! Ganti atasan batik. Gila aja, ke acara formal pakai kaus!" Dia ngedumel.
"Terus aku gimana? Masa iya di sini sendiri?"
"Yaelah, Lan. Kamu ke bagian panitia aja, atau nyari si Bos. Atau temen-temen wartawan. Pasti ada mereka. Daripada kamu ikut aku, dua kali jalan. Udah sono! Bentar yak! Nggak lama, bener! Aku ngebut. Daah!"
"Alma!"
Aku mendesah. Apa boleh buat. Daripada semakin mati gaya di sini, aku memutuskan untuk mendekati gedung serbaguna milik pemkot ini. Kuintip bagian dalam gedung dan menemukan banyak orang bersetelan formal lalu lalang. Ada beberapa orang yang memakai seragam warna hitam. Kupikir itu panitia. Tepat pada saat itu, ada seorang perempuan dari samping kiriku memanggil namaku dengan intonasi yang telah kukenal.
"Mbak Alana! Mbak!"
Gita. Dia seorang junior di komunitas kepenulisan kampus. Lebih tepatnya dia anak buah Jia, temanku dari divisi jurnalistik.
"Assalamu'alaikum, Mbak. Wow, nggak nyangka ketemu di sini. Sama siapa?" Gita berentetan bertanya padaku. Aku membalasnya dengan salam dan jabat tangan.
"Sama cowoknya ya?" selidik Gita tak mau berhenti. Aku tertawa mendengar kalimatnya. Rasanya sudah lama sekali ada orang yang menanyakan hal itu. terakhir, sepertinya saat aku awal masuk kuliah.
"Kamu percaya aku ke sini sama cowok?" tanyaku balik.
Gita nyengir, "Hehe, nggak mungkin, sih, mbak. Buat tipe kayak Mbak yang nggak pakai istilah cowok kecuali suami? Mahram? Jangan-jangan udah punya?"
Aku hanya tertawa dan memilih tak meneruskan obrolan ini. Sebaliknya, kutanyai ada keperluan apa gadis itu kemari.
"Aku sempet ikut workshop yang diselenggarakan DKM, mbak. Terus diminta datang sebagai bagian dari acara workshop. Jadilah, aku kayak anak hilang sendirian datang."
"Oh, gitu. Yaudah kita barengan aja, ya Git! Tadi aku sama Mbak Alma. Tapi orangnya balik kos lagi, ganti baju."
"Yaudah, mbak. Ayo deh, lebih asyik malah soalnya nggak bakal garing sendirian." Gita tampak senang dengan usulan itu. Gadis asli Sukabumi itu berjalan mendahuluiku untuk mendekati meja tamu. Ada dua orang berjaga di sana. Salah satunya aku sepertinya kenal.
"Dari kabarmalang, mbak?" tanyanya padaku. Aku mengangguk sebagai tanda jawaban. Lalu ia menuntunku untuk presensi di bagian buku khusus berisi presensi staf kabarmalang. Ada tiga wartawan yang hadir di sini. Mereka Fadhil, Beno dan Gilang. Sedangkan nama Alatas belum ada bubuhan tanda tangan kehadiran.
Masa dia telat?
Pikiran itu terhenti seketika sebab Alatas melintas di hadapanku dan tersenyum lebar. Ia agak berbeda dengan setelan batik warna dongker yang dipadu dengan celana kain yang terlihat licin dengan bekas lipatan setrika yang tampak jelas. Laki-laki itu memberikan arahan pada perempuan cantik penerima tamu yang kulupa namanya. Lalu memutari meja menghadapku.
"Mbak Alma nggak ikut, Lan?" tanyanya bernada basa-basi.
"Nanti nyusul, tadi masih balik kos," kataku. Saat itu Gita memandang Alatas penasaran. Akhirnya kuperkenalkan juga mereka daripada muncul keheningan yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
General FictionAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...