Duha waktu itu. Aku tak begitu ingat tepatnya. Bertemu Alatas di dekat parkiran gedung jurusan adalah sesuatu yang langka. Dia memakai jaket warna khaki dan celana jeans warna biru navy bersemburat pucat di beberapa bagian. Model pakaian yang jarang digunakannya jika ke kampus.
Ia menyapa. Ada nada canggung yang kutangkap dari cara bicaranya. Tetapi aku tak mau banyak menduga. Setelah membalas sapaannya, aku berniat akan pergi meneruskan kepentinganku. Saat itu pula niatku luntur sebab Alatas tiba-tiba meminta waktu untuk bicara.
"Sori, Lan. Tiba-tiba jadi ganggu kamu gini." Alatas mengusap tengkuk. Aku menggoyangkan kepalaku ke bawah. Kami sama-sama bertingkah abstrak.
Abstrak yang bermaksud. Abstrak yang mengandung arti paradoks.
"Nggak apa-apa, Mas. Sebentar, kan?" rupanya aku perlu mengudarakan suara. Alatas menjeda cukup lama dari kalimat sebelumnya.
"Lana sehat?"
Yakin dia hanya mau tanya ini?
"Alhamdulillah, Mas. Seperti sekarang."
Alatas tersenyum dengan hembusan napas yang keluar pelit seolah ditahan dengan sengaja. Aku kembali abai dan tak acuh daripada membentuk sebuah prasangka. Lebih baik menunggu poin penting apa yang ingin dia sampaikan.
"Lan, maaf karena masih ngerepotin kamu, ya. Terima kasih, mau bantu pegang admin Kabar dengan sukarela. Dan, kalau boleh, aku mau minta bantuan lagi,..."
"Minta tolong apa, Mas Rafan?"
Ah, dia terlalu banyak menggunakan spasi dalam percakapan ini. Mau tak mau akhirnya aku buka suara kembali. Sesuatu yang dari awal ingin kuirit agar apa yang ada di dalam otak tidak tiba-tiba tumpah dengan banyaknya pertanyaan yang kupendam untuknya. Juga apa yang ada dalam hati tak tambah gelisah karena makin tahu banyak hal nantinya.
"Aku perlu format laporan magang. Aku belum buat karena nggak tahu harus nyari informasi di mana. Ya, kamu tahu sendiri kenalanku di sini sekarang terbatas. Cuma kamu, yang logis buat dihubungi. Hehehe." Tawa yang canggung. Aneh mendengarnya.
Aku maklum jika Alatas menghubungi untuk meminta berbagai kebutuhan yang bersinggungan dengan kuliah. Sebab aku tahu pemuda ini tak begitu dekat dengan teman-teman di angkatan kami. bahkan di grup saja, jika tak dipanggil secara khusus, dia tak akan muncul.
"Oke, nanti Lana kirim lewat surel. Itu aja?"
Alatas mengangguk perlahan. Merasa tak ada yang akan dibahas, maka aku bergegas pamit lebih dulu.
"Eh, Lan!" serunya kembali, ketika aku sudah berjalan beberapa meter darinya.
"Ya?"
"Kalau aku butuh bantuan terkait kuliah lagi, nggak apa-apa hubungi kamu?" tanyanya.
Geming beberapa detik sampai kata Insya Allah meluncur untuk menjawab pertanyaannya, "Lana bantu semampu Lana, ya."
Alatas tersenyum. Berucap terima kasih sekali lagi dan kini benar-benar membiarkanku pergi. Sekejap, ada sedikit rasa tak rela ia menyudahi pertemuan ini. Terlalu banyak pertanyaan yang tak berani kukatakan. Sedangkan rasa penasaran cukup menguasai pikiran.
***
"Udah dapet judul skripsi?"
Kalimat pertama yang Lya katakan setelah salam. Sesuatu yang telah familiar di kalangan mahasiswa tahun terakhir. Dan perpustakaan adalah tempat familiar pertama di kampus ini untuk kami.
Setelah bertemu Alatas pagi tadi, aku sudah berjanji dengan beberapa teman di kelas Informatika-1 untuk sama-sama berdiskusi mengenai judul skripsi masing-masing. Bukan pertemuan wajib seperti tugas kelompok memang. Tapi kami punya kebutuhan yang sama untuk mencari banyak referensi artikel ilmiah dan jurnal-jurnal, sehingga memudahkan apabila memiliki lawan diskusi untuk tugas akhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
General FictionAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...