CERITA 26: Titik Balik Qadar

2.6K 168 9
                                    

Lepas magrib itu akhirnya tiba. Aku masih duduk melipat kaki di ruang tengah. Mbak Ria datang dengan wajah antusias dari halaman depan. Mungkin tamu yang akan dijanjikan bertemu bakda magrib juga telah datang, mengingat suaminya akan pulang dengan tamu lain setelah berjemaah di masjid dekat rumah mereka.

"Lan, siap-siap, ya? Tamunya udah di ruang tamu sama Mas Fadhli." Mbak Ria berujar, sebelum melesat meninggalkan ruang tengah menuju dapur.

Aku tak ada persiapan apa pun kecuali wajah segar bekas wudu magrib barusan. Aku dan Mbak Ria berjemaah di rumah, sedangkan Pak Fadhli, suami Mbak Ria pergi ke masjid di kompleks perumahan.

Kurapikan kerudung yang membalut kepala dengan sematan bros bunga lili hadiah souvenir walimahannya Lya. Kucek kembali gamis warna merah maroon yang telah seharian ini kupakai ke mana-mana. Outfit tak begitu resmi ini semoga terlihat rapi. Ah, nazhar macam apa dengan dandanan biasa-biasa saja seperti ini? Kalau Lya atau Nindya tahu, bisa kubayangkan mereka akan heboh menceramahiku yang tak persiapan.

"Alana, udah siap?"

Mbak Ria rupanya baru saja memberikan minum dan camilan di ruang tamu. Sejak kapan aku melamun sampai tak menyadari Mbak Ria lewat dan kini mengajakku untuk ke depan.

Aku masih memohon ampun pada Allah di dalam hati, sampai seketika tangan Mbak Ria yang tadi menuntunku terlepas dan tirai antara ruang tamu dan ruang tengah dibuka. Yang membuatku keki dengan diriku sendiri, sejak kapan aku segugup ini, padahal semenit sebelumnya tak perlulah aku harus mengatur napas panjang dalam-dalam dan mengembuskannya ngumpet-ngumpet begini.

"Bismillah, karena setengah jam lagi sudah waktu isya, pertemuan kali ini kita buat santai saja, ya. Nanti insya Allah selepas isya, ada waktu satu setengah jam untuk diskusi. Wis siap to?" Pak Fadhli, suami Mbak Ria, memberikan arahan setelah membuka forum dengan salam dan selawat.

Aku mengangguk tanpa mengangkat kepala. Kubiarkan wajahku sedikit tenggelam. Setidaknya dentuman dari dalam diriku harus kuatasi atau aku akan gelagapan di sesi tanya jawab.

"Abdillah, mau menyampaikan sesuatu?"

Abdillah? Nggak asing banget namanya.

Sebelum laki-laki itu berujar, kuintip sosok laki-laki yang akan dikenalkan padaku ini. Pandanganku yang agak terbatas, hanya menanhkap laki-laki itu memakai celana katun warna hitam dan ujung kemejanya bermotif batik berwarna dasar putih tulang.

"Jadi, Alana ... sudah baca amplop saya tadi?"

Seketika aku mengangkat wajah, ragu dengan suara yang tak asing kudengar.

Nggak mungkin ... tunggu!

"Adil?"

***

"Saya baru tahu kalian teman satu SMA? Masya Allah, takdir banget, ya?" Pak Fadhli yang pertama kali berkomentar setelah Adil sedikit membocorkan bahwa kami adalah teman lama.

Aku yang sudah lebih tenang pasca salat isya barusan, hanya menyimak hati-hati cerita Adil barusan pada mentornya.

"Wah, terus sebelum ke sini, Adil sudah berikan CV Taaruf ke Alana?" Kini Mbak Ria yang buka suara dengan nada takjub, sembari membuka amplop yang bahkan belum sempat kubaca isinya.

"Alana mau baca isinya dulu? Atau antum berdua langsung mau diskusi?" tanya Pak Fadhli lagi.

Aku menggeleng, "Saya memilih sebaiknya langsung diskusi saja, ustadz."

"Oke, sebelumnya, Adil mau sampaikan sesuatu?" kini giliran laki-laki itu yang ditanyai.

"Bismillah, ini untuk pertama kalinya saya ingin bercerita sedikit. Maaf ya Mas Fadhli, saya harus mengungkap kejadian dua tahun lalu. Saya kenal Alana sejak SMA, tetapi waktu itu tak pernah tebersit keinginan untuk menjalin apa pun. Jadi kami hanya sekadar tim dalam kegiatan ekstra sekolah yang sama. Sampai hampir tiga tahun yang lalu, saya bertemu kembali dengan beliau tanpa sengaja di kedai kopi milik rekan saya. Waktu itu, saya tidak sebenar-benarnya tahu tentang Alana, sampai Mas Fadhli mengatakan saya sudah sepantasnya menikah. Dari situlah, saya mulai berikhtiar. Saya ndak pernah tahu bahwa Lana adalah murid Mbak Ria sampai suatu ketika, saya pernah tak sengaja bertemu beliau sedang mengobrol dengan Mbak Ria di pelataran masjid dekat kampus. Begitulah, hingga saya memberanikan diri bertanya pada Mas Fadhli dan Mbak Ria. Tetapi mungkin ikhtiar yang sebenarnya baru dimulai sekarang ..." Adil menjeda dengan meminum tehnya, baru ia melanjutkan kembali pada teka-teki yang tak pernah sama sekali kutahu.

Cerita KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang