Kutempelkan kepalaku di jendela mobil. Menikmati arus Jalan Ijen yang sudah akan habis di ujung selatan. Hari ini akhir pekan, dan keadaan kota Malang seperti biasanya, masih saja ramai walau musim liburan semester telah tiba. Atau kota itu memang kota dua puluh empat jam. Tidak pernah istirahat walau malam sudah datang. Dulu juga begitu. Saat aku masih menjadi salah satu penduduk tidak tetap di sini. Seseorang yang tercatat sebagai mahasiswa, dan menyumbangkan kepadatan berarti, seringkali diprotes oleh penduduk asli. Tentu bukan salah kami, para mahasiswa rantau. Ini karena kota ini memiliki segudang harapan untuk dapat mewujudkan mimpi.
Sekarang mobil yang kutumpangi telah meninggalkan jalan Ijen dan sedang menuju jalan Simpang Wilis. Aku akan diantar ke tempat tinggal Mas Yudhan di perumahan dekat jalan itu. Mas Yudhan, anak sulung keluarga Hadikusumo-keluargaku. Dia bekerja dan menetap di sini sebagai dosen di universitas almamater kami.
"Kamu mau makan dulu?" Mas Yudhan menoleh ke arahku. Wajahnya santai, meski baru pulang kerja dan langsung menjemputku di stasiun. Aku tahu dia lelah dan lapar. Namun ajakannya makan tidak mengundang nafsuku. Aku ingin segera tiba dan istirahat di rumah.
"Nggak usah, Mas. Toh, aku rasa Mbak Melly sudah masak buat kita. Jangan boros karena makan di luar!" kataku berusaha bercanda. Suasana hatiku sedikit mendung memang. Tetapi, aku tidak pernah ingin orang lain tahu. Terutama Mas Yudhan. Dia akan bercerita kepada ibu jika mengetahui hal ini. Dan itu akan menimbulkan kehebohan. Dan tentang Mbak Melly, dia adalah istri Mas Yudhan. Mereka menikah enam tahun lalu. Namun baru dapat hidup bersama ketika Mas Yudhan telah menyelesaikan kuliah pascasarjana dua tahun kemudian.
"Oke."
Percakapan kami terhenti ketika Mas Yudhan memanuver mobilnya ke kanan. Dan kami benar-benar memasuki jalan ini. Sebuah jalan yang tidak pernah bisa kulupakan begitu saja. Setiap sudutnya, setiap ruko yang berjejer, dan kios-kios buku bajakan yang tak pernah ketinggalan. Aku tetap ingat. Atau memang tidak bisa untuk tidak mengingatnya. Melintasi jalan ini sama saja meminta memoriku keluar dengan terpaksa.
"Jadi, besok acaranya jam berapa, Lan?"
Kupalingkan wajahku ke arah Mas Yudhan untuk sekadar membalas pertanyaannya. "Jam sembilan sudah harus di sana, Mas. Hm, nanti aku jalan sendiri aja. Toh, bisa naik taksi."
Mas Yudhan melirikku. Barangkali ia tidak yakin aku bisa sendiri. Sejak kejadian itu, dia memang sedikit protektif padaku. Aku sendiri sudah berusaha bersikap santai.
"Ini Malang lo, Lan. Kamu yakin bisa sendiri?"
"Mas, aku juga pernah hidup di sini lima tahun lalu, 'kan? Insya Allah aku nggak apa-apa."
"Tapi, Alana?"
Mas Yudhan masih ingin mendebatku. Namun niatnya urung saat aku tersenyum untuk meyakinkannya. Sehingga ia mengalah dan kembali tenang di balik kemudinya. Diam-diam aku bersyukur sekaligus lega. Mas Yudhan telah banyak berubah lima tahun ini. Barangkali keadaan membuatnya lebih dewasa. Tidak seperti dulu. Saat kami sama-sama masih kuliah. Ketika aku masih berada di tahun ketiga strata satu, sedangkan Mas Yudhan tahun pertama pascasarjana. Kami terpaut lima tahun. Dulu, hubungan kami tidak semanis ini. Kami lebih suka bertengkar dan saling mendebat. Tetapi seiring waktu berjalan, kami jadi mengerti dan sama-sama lebih memaklumi satu sama lain.
"Oya, kita tadi kan lewat tempat kerjamu dulu kan, Lan? Waktu kamu magang itu?"
Aku hampir tersedak air mineral yang baru saja kuteguk. Ternyata sikap diamku saat melewati jalan ini tidak membuat Mas Yudhan lupa. Aku masih mencari-cari alasan untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Yudhan. Sebenarnya tidak masalah menjawabnya, tetapi aku takut Mas Yudhan akan bertanya lebih lanjut.
"Hm? Oya? Aku lupa, Mas. Tadi aku nggak perhatiin jalan." Ini jelas kebohongan yang kusengaja.
"Masa sih? Mas Yudhan lihat kamu malah terus-terusan nempel di kaca jendela. Ngelamunin apa? Temen kamu itu ya? Yang setempat magang? Dia bos kamu, kan? Hehehe." Dan tebakanku tidak pernah meleset.
Raut wajahku sedikit masam ketika Mas Yudhan menyebut orang itu. Sedangkan pemuda setengah bapak-bapak di belakang kemudi itu malah cengengesan karena berhasil menggodaku.
Mas Yudhan memang tidak tahu banyak. Tetapi, aku pernah mengenalkan mereka. Ya. Mas Yudhan dan dia. Si pecandu kopi di Morning Coffee Café.
Mas Yudhan masih ingin meledekku, namun rupanya kami telah sampai di rumah sebelum godaan darinya kembali meluncur. Setelah ia memarkir mobilnya, aku bergegas untuk mengambil koperku yang berada di bagasi. Lalu kami pun masuk ke dalam rumah sederhana dua lantai. Sebenarnya gaya rumah ini didesain modern dengan tampilan minimalis. Sama halnya dengan rumah di samping kanan atau kiri rumah ini. Rumah-rumah di sini seragam dan setipe. Hanya warna cat dinding dan pagar yang membedakannya satu sama lain.
"Lana, ayo masuk? Malah bengong di situ."
Aku tersentak mendengar teriakan Mas Yudhan. Cepat-cepat kubopong tas koperku yang tidak terlalu besar untuk masuk ke dalam rumah masku itu. Kulihat, anak Mas Yudhan yang pertama telah memasuki usia lima tahun. Sedangkan anak keduanya belum genap dua tahun sedang nyenyak berada di gendongan ibunya. Mbak Melly.
Mas Yudhan menyambut anaknya dengan heboh setelah kami mengucap salam. Ia gendong si Sulung dan menerbangkannya seakan si Sulung adalah superman. Oh ya, nama si Sulung adalah Rafa. Nama ini juga yang memberikan sumbangsih padaku, bahwa waktu lima tahun kemarin seakan belum bisa meretas kenangan yang telah lama lewat.
"Rafa, Tante Alana disapa dulu dong, Sayang!" Mbak Melly menegur Rafa saat dia masih asyik main dengan ayahnya. Mendengar perintah ibunya, bocah kecil itu segera berlari padaku dan menyalamiku. Tetapi aku selalu meminta lebih. Sebelum ia pergi dari rengkuhanku, kucium pipinya yang masih bulat dan kuusap kepalanya penuh sayang. Rafa memang anak yang menggemaskan. Dia pintar dan aktif sekali. Dan wajahnya itu menyalin ayahnya. Garis keturunan keluarga kami lebih banyak didapat Rafa.
"Kamu tadi nunggu lama, Lan?" Mbak Melly menghampiriku, masih dengan menggendong si kecil Alisya.
Aku menggeleng, sambil meminta Alisya yang setengah tertidur darinya. Bayi yang usianya belum genap dua tahun itu, tidak begitu rewel saat berada di gendonganku. Barangkali ia sudah sangat mengantuk.
"Nggak, kok, Mbak. Cuma nunggu satu jam nggak ada artinya."
"Padahal aku sudah bilang sama Mas Yudhanmu biar lebih cepat jemputnya. Biar kamu nggak kelamaan dan bisa lebih cepat istirahat."
"Hei, Ayah tadi cuma telat lima puluh menit, kok. Nggak sampai satu jam!" terdengar sahutan Mas Yudhan dari arah dapur. Berusaha menyanggah pernyataan istrinya. Mbak Melly hanya mencibir. Aku melihat mereka dengan geli. Kejadian semacam ini yang sering membuatku tertawa apabila menginap di rumah mereka. Perdebatan manis, candaan yang menyenangkan. Menjadikan suasana rumah lebih hidup. Hal-hal semacam ini pula yang membuatku sangat iri. Dan sedih sekaligus.
"Oh ya, Rafa sudah selesai mengerjakan PR, Bun?" Mas Yudhan bergabung dengan kami di ruang keluarga setelah mengambil dua cangkir teh hangat dari dapur, satu untukku dan satu untuknya sendiri. Kebiasaannya setelah pulang kerja memang, mengecek kegiatan anak-anaknya pada istrinya. Ia ayah yang peduli, dan suami yang penyayang. Sosoknya tidak jauh dari sifat Ayah kami. Meskipun ada beberapa hal dari sifat Ayah yang belum dimiliki Mas Yudhan. Mas Yudhan laki-laki yang serius.
Mbak Melly menjawabnya dengan lengkap. Tidak melewatkan barang satu hal sedikitpun. Bahkan ia juga bercerita apa saja yang dia lakukan. Hal ini sudah jadi budaya di rumah tangga mereka. Keterbukaan. Dan saling percaya. Dua hal itu sebagian kunci penting untuk membina rumah tangga.
"Alana, kamu mau berapa hari nginap di sini?" Mbak Melly memandangku. Aku yang sedikit tidak fokus dengan pembicaraan mereka harus bertanya lagi.
"Sampai kapan di Malang?" ulangnya lagi.
"Oh, cuma sepekan aja, Mbak. Mau langsung balik ke Jogja lagi."
"Kamu nggak ingin ke mana dulu gitu? Nggak ada teman-teman yang mau dikunjungi?"
Aku tersenyum, lalu menggeleng.
"Sekalian nyari jodoh, Lan!" celetuk Mas Yudhan
"Hush!" Mbak Melly memperingatkan. Aku sendiri sebenarnya tidak keberatan digoda seperti itu. Sudah biasa. Sejak peristiwa itu terjadi setahun yang lalu. Peristiwa yang sempat membuatku terpukul dan linglung seperti tidak tahu arah. Akan tetapi semua baik-baik saja. Sampai esok, kuharap akan baik-baik saja.
**bersambung**
catatan: foto diambil dari https://minakjinggotravel.files.wordpress.com
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Kopi
Ficción GeneralAlana Kusumanissa tidak pernah menyangka harus berurusan dengan Rafansyah Alatas, seniornya di kampus yang memiliki sisi lain yang tak pernah dia duga. Sementara sebelumnya yang ia lakukan hanyalah mengamati dari jauh. Dari bagaimana senyum miring l...