10 Maret 2016
13.32PM~
Halo, Diary.
Yah, kupikir, Komunitas Pena tidak buruk juga. Maksudku, ayolah, menemukan orang lain yang punya hobi membosankan yang sama denganmu, bukankah itu tidak buruk?
Screw krisis percaya diriku ini.
Meskipun aku menyukai hobi itu, tetap saja mau tak mau, aku mengakui kalau hobi itu membosankan.
Serius deh, terlalu lama mencari ide bisa membuatmu frustrasi. Coba saja kalau mau.
Omong-omong, ada orang yang sama sekali tidak kusangka akan menjadi kritikus naskah ceritaku, lho.
Awalnya bahkan, aku sama sekali tidak menyangka orang seperti dia menyukai hobi yang payah ini. Apalagi dengan fakta kalau dia termasuk salah satu anggota Komunitas Pena, meskipun aku baru melihatnya hari ini, karena aku tidak melihatnya saat pertama kali bergabung dengan Komunitas Pena.
Kurasa itu saja, aku agak malas menulis Diary padahal baru dua hari aku melakukan kegiatan ini. Maklumkan, remaja labil. Masih dalam proses pendewasaan diri, hahaha.
Anindita S
PS : aku akan menulis dengan singkat profil anggota Komunitas Pena di bab berikutnya, dan bab itu akan jadi bab sendiri, oke :)
~
Mungkin orang-orang yang teliti dapat langsung menyimpulkan kalau Anin terlihat gugup. Tetapi toh, tidak banyak yang peduli akan hal itu jadi Anin berusaha keras untuk juga tidak peduli.
Anin merogoh backpack-nya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang sudah dirokot--kalian tidak tahu apa itu dirokot, silahkan bukan KBBI masing-masing atau berselancar di Internet--.
Satu persatu, Anin memberikan kertas berisi naskah ceritanya yang baru selesai setengah jalan. Masih menggantung karena ide Anin mendadak mengering saat berusaha menulis kelanjutan ceritanya.
Anggota Komunitas Pena terlihat mengangguk-angguk sampai sebuah suara menginterupsi kegiatan membaca naskah Anin.
"Sorry, gue ngaret, lagi pada ngapain?"
Anin sukses melongo saat itu juga saat mendapati seseorang yang dikenal berada di tingkat atas kelas sosial--begitula Anin menyebutnya--alias mempunyai lingkaran pertemanan yang kelewat luas, muncul dari pintu perpustakaan.
"Dasar, tumben lo ga sok sibuk kayak biasa." Lira menyerocos saat lelaki itu mendaratkan bokongnya di atas karpet hijau. Tepat di samping Resta.
Detik kemudian, cowok itu menoleh dan menangkap Anin tengah menatapnya penasaran. Anin langsung mengalihkan pandangannya dengan memilin jarinya.
"Oh? Ada anggota baru ya? Kok gue gatau?" Resta menoyor kepala cowok itu sambil mendumal.
"Lo jarang dateng, dia baru gabung kemarin, sekarang kita lagi baca naskah dia." Cowok itu terlihat tertarik dan menerima naskah Anin dari Resta yang sudah selesai membaca.
Tunggu, cepat sekali Resta membaca naskah Anin, padahal ada 15 bab yang sudah Anin tulis. Anin sedikit terperangah dengan kecepatan membaca Resta.
Setelah beberapa saat, cowok itu mendongak lalu menatap Anin yang sedikit grogi, tidak, bukan karena status sosial cowok itu yang berbeda jauh dengan Anin, hal itu memang lumrah terjadi pada Anin yang ditatap orang yang hampir tak dikenalnya.
Toh, mereka memang tidak saling mengenal, sebelumnya.
"Nama lo Anindita 'kan? Lumayan sih naskah lo cuman gantung aja, dan gue sebenernya pengen ngasih kritik tapi--eh bentar, kita belom kenalan." Anin melongo melihat cowok itu malah cengengesan sendiri dengan kalimatnya.
Cowok aneh.
Tanpa menghiraukan tatapan bingung Anin, cowok itu memperkenalkan dirinya tanpa diminta.
"Gue Darin Satria, XMIPA2, selamat datang di Komunitas Pena." Untuk yang entah-keberapa-kalinya--Anin tidak menghitungnya--Resta menoyor kepala Darin.
"Sksd banget lo, kemaren kita udah ngasih kalimat pembuka kali." Darin mengusap kepalanya dan mengabaikan Resta.
"Oh iya, gue mau ngasih kritik naskah lo tapi ga di sini, karna gue yakin semua penulis nggak mau dikritik di depan orang banyak 'kan?"
Beberapa anggota Komunitas Pena menyoraki Darin dengan kata-kata yang membuat Anin tambah grogi.
'Modus aja lo, Rin'
'Dasar, tepe-tepe gak disini juga kali'
'Anin anak baik-baik, dasar playboy cap teri'
Nah, yang terakhir itu tentu dari Resta.
Anin tersenyum tipis berusaha tidak terlihat salah tingkah atau semacamnya karena, hey, yang baru saja berbicara dengannya adalah cowok di strata sosial tertinggi, oke?
"Boleh aja, gue akan sangat menghargai kritik lo itu."
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of an Unseen One [END]
Teen FictionAku menatap lamat-lamat teman-temanku dari Komunitas Pena yang asyik bercengkrama satu sama lain. Diam-diam, aku bersyukur karena dipertemukan dengan mereka. Mereka tidak menyadari kalau sebenarnya, mereka telah menghapuskan empat kata di dalam hidu...