05 : Teman

1.5K 334 14
                                    

13 Maret 2016
13.04PM

~

Halo, Diary.

Kurasa, hari ini cukup menyenangkan.

Wah, aku merasa mendapat sedikit kemajuan selama menulis ini, maksudku ayolah, hari-hari sebelumnya, aku selalu mengatakan kalau kehidupanku payah.

Dan sekarang, aku mensyukurinya. Bukankah itu sebuah kemajuan yang bagus?

Omong-omong, kenapa aku bilang hari ini menyenangkan, alasannya simpel saja.

Kau sudah baca judul bab ini, bukan?

Nah. Aku yakin kau sudah mengerti. Sehingga beruntungnya kalian, aku terlalu senang rasa kosongku selama menjadi manusia akhirnya terpenuhi, sehingga aku akan berbaik hati menjelaskan judul bab ini.

Bisa ditebak, teman-teman dari Komunitas Pena sangatlah asik.

Oh iya, rasanya sekarang juga aku lebih nyaman menceritakan kehidupanku lewat narasi dan dialog daripada menulis diary itu sendiri.

Jadi ... maafkan aku kalau bagian diary jauh lebih sedikit daripada narasi dan dialog *membungkuk*.

Yah, kurasa hanya itu saja, oh ya aku hampir lupa memberitahumu kalau aku memutuskan untuk membuat cerita baru dan tidak melanjutkan naskahku yang dikritik Darin waktu itu.

Maksudku, ayolah, aku tidak serajin itu untuk merevisi semua bab dari awal, itu jauh lebih melelahkan daripada membuat cerita baru, oke. Oh, aku memang tidak sekonsisten itu omong-omong.

Kurasa segitu saja, have a nice day everyone!

Salam

Anindita S

~

Anin hanya terdiam saat melihat Resta melambaikan tangannya bersama dua orang lainnya dari salah satu meja di kantin. Laras dan Lira. Ada satu orang lain juga di meja itu tetapi sedang sibuk dengan makanannya.

Oh, Anin kenal orang itu. Alvin yang juga dari Komunitas Pena.

"Kok diem aja? Ayo gabung." Anin sampai tidak menyadari kalau Darin sedari tadi menghampiri dan barulah saat cowok itu berbicara, Anin mengalihkan pandangannya dari Resta.

"Eh?" Anin terlalu linglung untuk menarik tangannya yang ditarik Darin menuju ke meja tersebut.

"Duileh, ada yang mulai PDKT nih." Lira melirik tengil pada tangan Darin yang masih menarik pergelangan tangan Anin. Sontak, Anin dan Darin langsung menarik tangan mereka yang disambut kekehan dari Laras.

"Duduk, Nin," ujar Laras. Anin tak sampai hati menolak karena ayolah, Anin memang sangat jarang punya teman makan di kantin.

Anin segera duduk dan menyantap baksonya. Sementara Darin mulai menyantap nasi gorengnya sambil mengobrol dengan Resta dan sesekali Alvin menyeletuk ringan.

Anin juga ikut obrolan Lira dan Laras yang menanyakan pendapatnya tentang teman satu angkatan mereka.

"Menurut lo, Difa gimana?" tanya Lira sambil menyuap batagornya.

Anin berusaha mengingat teman angkatan mereka yang bernama Difa dan oh, Anin baru sadar kalau yang mereka bicarakan adalah Audifa Miranda, ratu lebah paling tersohor di Tunas Bangsa.

Kenapa Anin bilang tersohor? Simpel saja, kelompok--kalau-kalau kau tak mau menyebutnya geng--sangatlah menjunjung tinggi gaya hidup borjuis. Ke sekolah saja, mereka--ada tiga orang lainnya selain Difa--memakai tas Guchci, bak tante-tante yang hendak pergi arisan.

Anin terkekeh pelan membuat Laras dan Lira bengong sebentar.

"Lah, nih anak malah ketawa, emang ada yang lucu ya?" Laras menggeleng tanda tak tahu.

"Yah, menurut gue ya gimana ya, toh gue gapernah berurusan sama mereka, jadi mereka biasa aja."

Lira melongo takjub seolah melihat kepala Anin terbelah dua sedangkan Laras menepuk tangannya antusias. Anin jadi mengulum senyum melihat tingkah kedua temannya yang absurd.

"Heh, baru kali ini ada yang bilang mereka biasa aja, karena semua temen gue yang gue tanya gitu, selalu jawab paling engga 'centil'," Komentar Lira membuat Anin paham kenapa reaksi mereka seaneh itu.

"Yah, bagus sih lo ga berurusan sama mereka, gue aja eneg sekelas sama dia meskipun sangat jarang ngobrol." Laras terkekeh pelan.

Anin menggelengkan kepalanya geli sambil menghabiskan kuah baksonya.

"Girls, gue mau nanya pendapat kalian soal naskah gue, bentar yak, gue ke kelas dulu, ngambil naskahnya." ucapan Darin membuat ketiga kepala gadis itu menoleh dan mengacungkan jempol pada Darin yang bergegas kembali ke kelasnya.

Diam-diam, lagi-lagi Anin tersenyum. Mereka tidak seburuk yang Anin bayangkan.

~

Diary of an Unseen One [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang