20 Maret 2016
14.20PM~
Halo, Diary.
Maaf, karena aku sudah sangat lama membiarkanmu berdebu selama beberapa hari ini. Yah, aku hanya ... belum siap untuk mengungkapkan apa yang sudah terjadi padaku selama beberapa hari ini.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku berpikir.
Mungkin hanya aku yang jatuh padanya. Aku jatuh sendirian. Karena dia, tidak juga jatuh padaku.
Haha, kalian bisa menebak bukan?
Sepertinya, aku harus mulai belajar menjadi dewasa karena ... terlalu banyak berharap selama beberapa minggu terakhir.
Jatuh cinta membuat seseorang membangun harapan-harapan semu.
Pesan untukmu yang sedang membaca ini ; Jangan berharap banyak pada orang di sekelilingmu. Karena toh, tidak selamanya ekspektasi sesuai dengan kenyataan.
Tapi, jangan terpuruk terlalu dalam. Karena tidak ada yang bisa menyelamatkan dirimu selain dirimu sendiri.
Ini serius.
Sudah ya, aku lelah karena seharian ini terus berpura-pura tersenyum.
Sampai jumpa.
Anindita S
~
"Ini kantin kok sepi banget?"
Kali ini, Anin hanya sedang bersama Resta. Sudah sejak limabelas menit yang lalu, gadis itu menghabiskan mangkuk baksonya.
Sedangkan Resta sendiri hanya bermain dengan ponselnya dan mengendikkan bahu cuek.
"Kayaknya tadi pada ke lapangan," ujar Resta seraya bangkit berdiri.
Anin ikut bangkit dan mengekori Resta. Sepertinya lelaki itu menuju ke arah lapangan. Mungkin ingin melihat apa yang tengah terjadi di sana.
"Apaan nih, kok pada rame banget di sini?" Anin berusaha menerobos lautan manusia di lapangan yang seperti tengah menonton sesuatu.
Dan mata Anin membulat saat mendapati di tengah lapangan, ada orang-orang yang dikenalnya selama beberapa minggu terakhir.
Darin.
Lira.
Laras.
Bahkan Asa, Eno, dan Alvin juga ada. Tengah berdiri juga di tengah lapangan. Tetapi bukan hanya itu fokus perhatian Anin.
Darin dengan sebuket bunga mawarlah, fokus perhatian Anin.
Dan Darin tengah menjulurkan buket itu pada ... Lira?
"Nin," Panggilan Resta Anin abaikan.
Perhatian Resta juga pada kedua sejoli itu. Tentulah, semua orang akan tahu apa yang tengah Darin lakukan pada Lira.
Anin dapat merasakan napasnya terasa sesak dan akhirnya menyerah.
Anin membalikan tubuhnya dan berjalan cepat menjauhi kerumunan, sekaligus membuat Resta kebingungan karena gadis itu menghilang tiba-tiba.
~
Taman sekolah sangat sepi, tidak seperti biasanya yang ramai oleh siswa maupun siswi yang menghabiskan waktu istirahat di sana.
"Disini lo rupanya." Anin menoleh.
Raut wajah Resta terlihat gusar walaupun lelaki itu tetap ikut duduk di sebelah Anin.
"Lo nggak nangis kan?" tanya Resta sambil menghadap Anin.
Perlahan, dahi Anin mengerut.
"Hah?" tanya Anin dengan ekspresi paling bodoh yang ia miliki.
Resta yang melihatnya mengernyit heran.
"Lo bukannya patah hati liat Darin tadi?" tanya Resta sambil menyorongkan sebotol air mineral.
Anin menolak air tersebut dan memilih menggelengkan kepalanya.
"Entahlah, gue ... cuma ngerasa kalo perasaan gue ke Darin cuma sebatas kagum. Nggak lebih," ujar Anin sambil menunduk.
Memang, sejak Anin sampai di taman sekolah, tidak ada setetes pun air mata yang keluar. Dan Anin juga seolah ber-oh ria saat melihat Darin tadi.
Tapi ... tetap saja. Seolah hati Anin tercubit saat melihat Lira yang tampak bahagia saat menerima buket mawar itu.
"Yah, tapi kayaknya lo butuh sesuatu biar nggak se-galau ini deh, duh apaansih gue, masih pake kata galau," ujar Resta pada dirinya sendiri.
Anin terkekeh pelan dan bangkit, berniat pergi sebelum Resta mencegahnya.
"Eh, serius, lo butuh moodbooster, gimana kalo kita jalan pulang sekolah nanti?"
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of an Unseen One [END]
Подростковая литератураAku menatap lamat-lamat teman-temanku dari Komunitas Pena yang asyik bercengkrama satu sama lain. Diam-diam, aku bersyukur karena dipertemukan dengan mereka. Mereka tidak menyadari kalau sebenarnya, mereka telah menghapuskan empat kata di dalam hidu...