14 : Jawaban

1.1K 272 7
                                    

~

24 Maret 2016

20.08 PM

Halo, Diary.

Seharusnya aku tahu sejak awal.

Kalau perubahan yang tiba-tiba itu benar-benar bukan hal yang baik. Ayolah, maksudku, harusnya segalanya harus dimulai dengan perlahan. Bukan seperti ini.

Sekarang, kurasa aku akan kembali ke kehidupan lamaku yang membosankan.

Menjadi gadis unseen dengan kehidupan yang aman, damai, sentosa. Dan tentunya, payah dan membosankan.

Kuharap keputusan ini akan membawa perubahan yang lebih baik. Aku serius.

Itu saja, Salam.

Anindita S

~

Selama beberapa menit, tidak ada yang memulai pembicaraan. Tapi, Anin sudah tidak berniat membuang-buang waktu lebih banyak lagi.

Karena semakin lama ia membuang waktu, semakin harapan itu meredup, menyakiti hatinya sendiri.

Saat ini, Anin masih berada di kafe yang sama, hanya meja yang berbeda. Karena Anin meminta Lira dan Resta untuk tetap di mejanya tadi, ingin berbicara empat mata dengan Darin.

Awalnya, Resta menolak dan memilih untuk menemani Anin berbicara dengan Darin, khawatir Anin tidak dapat membendung emosinya dan malah menangis di depan Darin.

Tapi Anin sedang tidak bisa dibantah.

Jadi di sinilah Anin dan Darin sekarang, di meja yang terletak di pojok kafe, jauh dari keramaian.

"Jadi ... apa yang mau lo omongin Nin? Sampe Lira sama Resta nggak boleh tau."

Bahkan, Anin harus mau mengakui kalau ia masih jatuh cinta pada nada jenaka yang Darin keluarkan.

Harapan Anin tambah meredup karena gadis itu sekarang yakin kalau Darin tidak mempunyai perasaan setitik pun padanya. Tapi, Anin masih perlu mematikan total harapan itu, sampai tidak tersisa sedikitpun bekas cahaya yang pernah Darin berikan.

"Maksud lo ngajak gue ke padang bunga yang waktu itu, apa, Rin?" Wow, Anin mengutuk nada bicaranya yang terdengar seperti gadis yang marah karena mengetahui pacarnya selingkuh di belakangnya.

Padahal, Darin bukan siapa-siapa. Sekali lagi, hati Anin tercubit mendengar suara hatinya sendiri.

Darin telihat mengernyit, bingung.

"Jadi ... Resta masih belum ngasitau lo?"

"Hah?"

Anin melongo. Memang apa hubungannya Resta dengan ini?

Darin menghembuskan napasnya. Setengah terdengar jengkel bercampur geli.

Sebenarnya ada apa?

"Oke, kalau Resta pengen gue yang nyampein ini. Tuh bocah emang pengecut banget," ujar Darin memutar bola matanya.

Anin tambah penasaran, sebenarnya ada apa dengan Darin dan Resta?

"Jadi ... gini, Resta yang nyuruh gue buat ngajak lo ke padang bunga waktu itu, karena entahlah, Resta pengen tau reaksi lo kalo ke padang bunga itu, karena ... Resta pengen lo seneng ke padang bunga itu, tapi karena Resta nggak yakin lo bakal seneng apa engga, dia semacam yah ... ngetes gitu, dan dia sebagai teman yang pengecut, minta tolong ke gue buat ngajak lo kesana.

"Sebenernya, Resta yang mau ngajak lo ke sana, tapi ya gitu, dia terlalu malu dan nggak berani buat tau reaksi lo, oh, jadi Resta belom nembak lo?"

Rahang dan otot pipi Anin terasa jatuh. Terkejut sekaligus apa ya? Kesal? Sedih? Terkesan dengan Resta dan Darin?

Jadi ... selama ini Darin hanya diperalat Resta yang ingin pendekatan dengannya? Konyol sekali.

Sial, Anin benar-benar akan menonjok lelaki itu nanti.

Tapi, saat itu juga Anin tahu kalau harapannya pada Darin sekarang, benar-benar sudah mati total.

Sedikit perasaan sedih memang ada, tapi Anin tahu, inilah pilihan terbaiknya.

"O-oh, makasih, Rin, yah, gue lagian nggak suka sama dia, makasih banyak buat infonya, gue bakal nonjok pengecut satu itu."

~

Diary of an Unseen One [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang