13 Maret 2016
21.03PM~
Halo, Diary.
Aku, uhuk, sangat benci uhuk, ketika ini terjadi.
Bisa ditebak, 'kan? Uhuk, sakit.
Payah, fisikku memang payah. Serius, kali ini bukan karna krisis percaya diriku, aku benar-benar payah walau hanya demam biasa.
Pernah suatu kali, aku meminum minuman cup--yang biasa di warung-warung--dan berakhir dengan radang tenggorokan parah. Bahkan sampai demam.
Ya ya ya, aku tahu aku selemah itu. Dan sekarang, kepalaku rasanya seperti mau meledak. Tapi bukan meledak secara harfiah, sih.
Sejak kemarin malam, aku sedikit demam, lalu berakhir dengan pusing yang sangat hebat di kepala bagian kiriku. Seperti nenek-nenek saja--ini komentar Ibuku--.
Tapi bagaimanapun juga, aku tetap harus ke sekolah. Karena yah, kalau aku tidak masuk sehari saja, pasti aku akan ketinggalan banyak hal. Terutama tugas-tugas.
Untuk informasi, aku hanya percaya pada diriku sendiri dalam urusan informasi-tugas-ulangan-dan-tetek-bengek-lainnya. Serius, aku hampir tidak percaya bahkan teman terdekatku kalau menyangkut informasi PR.
Jadi, yah, aku memaksakan diri untuk masuk.
Dan tidak berakhir dengan terlalu baik. Atau buruk, entahlah.
Itu saja kurasa, sampai jumpa.
Anindita S
~
Anin mengerutkan keningnya saat berdiri dari kursi kelas. Bu Ela, guru Fisika-nya sudah keluar kelas sejak sepuluh menit yang lalu, bahkan sebagian anak-anak kelasnya sudah pergi dari kelas.
Hanya Anin yang berpegangan pada meja dan beberapa anak iseng yang masih ada di kelas.
Pusing. Rasanya kepala bagian kiri Anin berdenyut keras seolah akan meledak. Tetapi beberapa saat kemudian, denyut menyakitkan itu berhenti sehingga Anin menghela napas lega.
Sudah dua hari termasuk hari ini, kepala Anin seperti mau pecah. Padahal, semalam Anin sudah menempelkan empat buah koyo cabai yang hanya biasa dipakai nenek-nenek yang sakit kepala.
Dan menurut Anin, empat buah koyo cabai itu sama sekali tidak cukup. Kalau orang biasa mungkin sudah meringis karena asal kalian tahu saja, koyo cabai sangatlah panas. Berkali-kali lipat lebih panas dibanding minyak kayu putih.
Anin meraih tasnya dan berjalan perlahan keluar kelas meskipun sesekali denyut menyakitkan itu kembali.
"Eh, gue kan belom ngasih naskah ke lo, nih, coba baca ya." Anin berjengit pelan saat Darin menepuk bahunya. Kenapa cowok satu ini sangat suka muncul tiba-tiba? Ingat kejadian kantin.
Memang, Darin belum sempat memberi Anin naskahnya karena Anin sudah keburu kembali ke kelas mengingat ada ulangan setelah jam istirahat. Jadi Anin menerima berlembar kertas dari Darin yang sudah cowok itu rokot.
"Boleh gue bawa pulang?" tanya Anin.
Darin mengangguk cepat. Anin sampai khawatir kepala cowok itu akan copot tetapi tetap berusaha tersenyum tipis.
"Boleh-boleh, nanti kalo udah langsung kasitau ya, gue penasaran sama kritik dan saran lo, hehe." Anin mengangguk pelan dan melambaikan tangan pada Darin yang pamit pergi.
Selama beberapa saat, Anin berjalan di koridor yang sudah sepi sambil membaca naskah Darin.
Genrenya Aksi dan Fantasi. Dan Anin akui naskah Darin cukup bagus. Setidaknya jauh lebih bagus dari naskah bergenre Fiksi Remaja milik Anin.
"Aduh." Anin meringis pelan saat tidak sengaja menabrak sesuatu. Atau seseorang?
"Resta?" Masih dengan seragam ekskul futsal, Anin menemukan Resta tanpa kacamatanya tengah mengaduh sambil mendongak padanya.
Baru saja Anin ingin menyapa dan meminta maaf, denyutan menyakitkan itu datang kembali. Kali ini disertai kunang-kunang menutupi pandangan Anin.
Sebelum semuanya menjadi gelap, Anin sempat merasa Resta mengatakan sesuatu.
~
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary of an Unseen One [END]
Novela JuvenilAku menatap lamat-lamat teman-temanku dari Komunitas Pena yang asyik bercengkrama satu sama lain. Diam-diam, aku bersyukur karena dipertemukan dengan mereka. Mereka tidak menyadari kalau sebenarnya, mereka telah menghapuskan empat kata di dalam hidu...