That's Why I Did - 1

229 60 9
                                    

That's Why I Did - 1

Primrose. Prim berjalan menuruni tangga menuju ruang keluarga dengan rasa tegang yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun dia harus bisa bersikap seperti biasa. Lelaki paruh baya berperawakan tegap dan bermata tajam itu melihat ke arahnya, dia yang menyadari hal itu langsung menaikkan sedikit ujung bibirnya untuk tersenyum. Senyum kaku. Di depannya laki-laki yang umurnya satu tahun di atasnya juga terlihat tegang, dengan mengenakan jas hitam dan kemeja putih serta dasi berwarna merah yang nampak rapi membuatnya terlihat keren. Dia langsung menempatkan diri di samping laki-laki itu.

Hening. Suasana itu membuat Primrose dan laki-laki di sampingnya menjadi semakin tegang. Biasanya dalam situasi seperti ini, Prim bisa saja berteriak rewel dan langsung pergi menuju kamar. Oh Tidak. Situasi seperti ini jarang terjadi, bahkan tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Papa harus bicara". Akhirnya lelaki paruh baya itu memulai pembicaraan. Sama halnya dengan laki-laki di samping Prim, laki-laki di depannya itu terlihat gagah dengan jas hitam dan kemeja putih yang ia kenakan. Papa, berperawakan tegap dan mata cokelat tajam. Stevent Damanik.

"Papa tau ini gak mudah, tapi ini tradisi. Tradisi keluarga." ujarnya. "Seorang keturunan Damanik harus berjiwa mandiri, berani dan tidak takut apa pun. Nama keluarga itu dikenal dimana-mana. Sebut saja Damanik, seluruh manusia akan tunduk." Papa berhenti, mengambil napas beratnya. "Seorang keturunan Damanik harus memiliki nilai kemandirian. Kemandirian yang didapatkan dengan cara hidup di dunia luar selama 3 tahun."

***

Primrose sudah berada dikamar, merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar yang redup. Dia sudah tau ini akan terjadi, dia sudah mengetahuinya sejak lama. Dia hanya tinggal memikirkan bagaimana selanjutnya, harus sudah siap dengan berbagai kemungkinan akan ditempatkan dimana. Huh, memikirkan hal itu sangat menguras energinya. Dia merasa kepalanya akan meledak atau sebentar lagi akan pingsan jika terus memikirkannya.

Klek. Primrose menengok ke arah sumber suara dan mendapati laki-laki yang bersamanya tadi tiba-tiba menerobos masuk. Prim terkejut dan duduk dari posisi rebahnya. Laki-laki itu langsung duduk sembarang di sofa putih tulang sudut kamar.

Gale Stevent Damanik.

Gale yang umurnya satu tahun di atas Primrose ini adalah kakak kandungnya, satu-satunya orang yang dia punya-kecuali ayahnya, Stevent Damanik. Gale yang tampan dengan hidung mancung, mata cokelat dan kulit yang putih. Setiap gadis yang melihatnya dibuatnya jatuh cinta ketika cowok ini tersenyum. Primrose dan Gale tidak begitu dekat. Walau mereka kakak-adik, dia terkadang merasa Gale tidak menganggapnya. Hanya sesekali mereka berbicara langsung itu pun untuk hal-hal yang penting.

"Kamu gak pusing soal tadi?" tanya Gale.

"Eng-gak tau. Aku sendiri bingung harus gimana." Jawabnya.

"Aku nanya kamu pusing apa enggak, Prim. Bukan nanyain kamu mau gimana,"

Gale mengarahkan pandangannya ke luar. Dari menilik wajahnya dan caranya bicara, Prim yakin ada sesuatu yang mengganggu di hati Gale. Seperti ada yang ingin dikatakannya. Dia hampir lupa. Bukan hanya Gale, dia juga merasakan itu.

"Aku takut kalau kamu ditempatin jauh dari aku,"

Kalimat itu keluar sempurna dari mulut Gale. Hanya kalimat itu. Prim yang demi mendengarnya terkejut dan tak sadar menatap Gale lama. Gale yang tidak tahan ditatap seperti itu berjalan ke arah pintu dan meninggalkan Prim yang masih terkejut akibat perkataannya.

"Aku gak salah denger? Abang takut kalau aku ditempatin jauh dari dia?"

Prim bertanya pada diri sendiri yang masih setengah tidak percaya kalau yang tadi adalah Gale. Tapi setelah dipikir, kelakuan Gale berbanding terbalik dengan kalimat yang baru dikatakannya. Huft, mungkin dia lagi pusing makanya bilang gitu. Dia berkata dalam hati.

That's Why I DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang