That's Why I Did - 7

81 27 20
                                    

That's Why I Did – 7

Dengan napas yang masih menderu karena berlarian dari gedung bagian atas hanya untuk menghampiri Farhan. Perasaan senangnya semakin membuncah setelah mengakhiri telepon dari Jonathan. Gilang yang sedari tadi melihatnya berlarian akhirnya kini baru sampai dihadapannya. Dia menatap Prim seolah benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa Prim berlari sedemikian kencangnya hanya untuk menerima sebuah panggilan. Terlebih karena senyum tidak pernah lepas dari wajahnya setelah itu membuat Gilang semakin heran.

Tidak menghiraukan tatapan Gilang, juga tidak memperdulikan tatapan orang-orang sekitar. Prim menyisir sekelilingnya berharap menemukan Kak Rangga. Prim ingin izin untuk pulang lebih awal. Prim ingin pulang sekarang.

"Kenapa, Prim? Aneh bener dari tadi,"

"Nyari Kak Rangga, Gil." Prim menjawabnya tanpa melihat kearahnya sedikit pun. Prim sibuk mencari keberadaan Kak Rangga.

"Maaf, lihat Kak Rangga, gak?" Prim terpaksa bertanya pada salah satu teman karena tetap tidak menemukan orang yang dicari tersebut. Orang yang dia tanya bilang kalau Kak Rangga sedang rapat dengan para koordinator yang lain.

"Mau apa emang kalau ketemu Kak Rangga?"

"Mau minta izin pulang. Aku mau pulang sekarang,"

Prim beranjak meninggalkan Gilang yang lagi-lagi menatapnya heran kemudian menghampiri Rena yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Ren, boleh minta tolong? Nanti kalau Kak Rangga selesai rapat, bilangin aku izin pulang duluan yaa. Please banget, ya?"

"Emang harus pulang sekarang banget ya, Prim?"

"Iya, harus. Makasih banyak yaa Ren,"

Tidak memperdulikan tanggapan Rena juga tidak memperdulikan tatapan Gilang, Prim berlari keluar gedung wisuda mencari jika saja ada taksi atau ojek yang lewat. Tidak lama Gilang keluar menghampirinya dan menahannya untuk mencari taksi.

"Kamu disini aja, Gil. Nanti kamu kena marah sama panitia yang lain. Aku gak apa deh kena marah juga, kamu jangan ikutan."

"Kan pulangnya bisa nunggu Prim. Lagian Kak Rangga belum bilang setuju,"

Akhirnya taksi lewat di depan kampus, Prim buru-buru melambaikan tangan agar taksi berhenti. Tidak perduli jika Kak Rangga marah atau panitia yang lain marah. Apa perdulinya dengan mereka? Prim hanya butuh pulang sekarang, Prim tidak akan melakukannya jika saja...

"Nanti aku jelasin. Sekarang aku bener-bener mau pulang,"

Prim masuk ke dalam taksi dan meninggalkan Gilang begitu saja. Prim tahu dia jahat, terlebih pada Gilang, tapi ini tidak bisa digantikan dengan hal lain. Prim bisa mengurus yang lain nanti, jika urusan ini sudah selesai.

***

Sampailah kini Prim di depan rumah. Mencari-cari jika saja orang yang ingin dia lihat sedari tadi ada di dekat sini. Nihil. Dia tidak ada di sekitar sini. Prim mengeluarkan ponselnya, dengan cepat Prim mencari nama "Nath" dan menekan icon panggilan.

Baru tersambung telepon itu, tiba-tiba pagar rumahnya dibuka oleh seseorang. Seseorang yang kini sedang menerima panggilan sehingga tangan kirinya menggenggam ponsel di telinga. Seseorang yang selalu dia nantikan hadirnya. Seseorang yang selalu dan akan selalu memiliki cintanya.

"Nath,"

Prin hamburkan dirinya ke dalam pelukan Jonathan. Meluapkan segala kerinduan yang terlalu sering datang beberapa bulan ini. Memejamkan mata, menghirup wangi badan yang sudah sangat akrab dengan hidungnya. Prim sama sekali tidak perduli jika ada tetangga yang melihat. Mereka tidak tahu bagaimana senangnya Prim saat ini. Hampir saja Prim menetaskan air mata kalau tidak ingat dengan kalimat yang akan dilontarkan Jonathan nanti. "Pacar aku dilarang nangis," Prim tersenyum membayangkannya.

That's Why I DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang