That's Why I Did - 14

21 3 4
                                    

That's Why I Did –14

Jadwal kuliah Prim siang hari ini. Itu artinya Prim masih bisa bermalas-malasan pagi ini. Dia sudah sarapan, Reno membelikannya sarapan warung Bu Asri tadi pagi. Dia juga sudah selesai membereskan rumah. Walau yang dia lakukan hanya menyapu rumah dan membereskan beberapa barang yang dilihat tidak pada tempatnya.

Prim mencemaskan Jonathan. Ini sudah hari berikutnya namun Jonathan tidak kunjung meneleponnya. Telepon Jonathan juga selalu tidak aktif. Biasanya kalau ingin pergi ke luar negeri atau mengerjakan sesuatu, Jonathan pasti menghubunginya terlebih dahulu atau sekedar mengirim pesan teks. Tapi sekarang? Jonathan bahkan tidak memberinya kabar kalau dia sudah sampai.

Deg! Prim terpaku. Dia belum menghubunginya sama sekali sejak Prim mengantarnya ke bandara. Itu berarti Prim tidak tahu apa dia sudah sampai atau belum.

Apa pesawat yang ditumpanginya kecelakaan? Prim langsung menggelengkan kepala. Tidak mungkin. Kalau benar iya, pasti sudah terdengar beritanya di televisi. Dan juga beberapa minggu ini tidak ada berita tentang kecelakaan pesawat di televisi. Prim menghembuskan nafas pelan, lega. Apa yang ada dipikirannya tidak benar.

Lalu dimana Jonathan? Kenapa sampai sekarang belum menghubunginya? Prim menyambar teleponnya, mencoba menghubunginya lagi.

Argh!!! Prim sampai ingin membanting teleponnya jika saja Prim tidak segera menyadari kalau hanya ponsel inilah yang bisa menghubungkannya dengan Jonathan, Gale, dan papa. Walau berkali-kali Prim mencoba hasilnya tetap sama. Server.

"Prim,"

Itu suara Gilang.

"Prim,"

Prim menengok kearah jam kalau saja ini sudah siang. Namun ini masih pagi, belum waktunya nyaliah. Kenapa Gilang datang jam segini? Atau mungkin dosen tiba-tiba memajukan jadwal?

"Masih pagi, Gil."

Gilang langsung menerobos masuk dan duduk di ruang tamu setelah Prim membukakan pintu untuknya.

"Prim, kamu gak bohong soal Damanik?"

"Ya ampun, Gilang. Ini masih pagi loh,"

Prim mengeluh mendengar pertanyaannya. Ini masih terlalu pagi untuk membicarakan itu, hal yang Prim anggap adalah topik berat. Tapi bagaimanapun Prim mengelak, Gilang pasti ingin tahu sekarang. Lagi pula pagi ini moodnya sudah rusak.

"Kenapa kamu bisa disini? Aku udah lihat artikel tentang Damanik. Silsilah keluarga dan sebagainya. Aku juga lihat foto kalian. Stevent Damanik, Rose Damanik, Gale Stevent Damanik, Primrose Stevanie Damanik."

"Rose... Damanik,"

Prim tertegun mengucapkan nama itu. Raut wajahnya sudah berubah. Benar, nama mama. Rose Damanik. Sudah lama Prim tidak menyebutkan nama itu, bahkan mengingatnya saja Prim sudah jarang.

"Iya. Rose Damanik. Mama kamu, kan?"

"Iya, ma-mama," Prim menahan nafas sejenak, penglihatannya sudah buram. Air mata menumpuk di pelupuk matanya. Sedari awal, Prim memang selalu menghindari membericarakan tentang mama. Karena ini. Iya, karena ini.

"Kamu kenapa, Prim?"

Air mata mengalir dipipi Prim. Giginya gemeretak. Prim meremas kuat keduatangannya. Mata Prim tak fokus, Prim menggosok tengkuknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

That's Why I DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang