That's Why I Did – 3
Disinilah sekarang tempat Prim. Tempat yang akan dia huni selama tiga tahun ke depan. Sebuah rumah yang berpetak kecil yang hanya memiliki dua kamar yang letaknya berjauhan. Tidak cunyap jauh sih. Mengingat rumah ini unyarannya sangat kecil, bahkan kelihatannya rumah ini tidak ada ¼ dari rumahnya kemarin. Sebentar, rumah ini tidak memiliki garasi, apa tidak ada mobil atau kendaraan lain yang akan Prim gunakan disini? Oh ini benar-benar melatih kemandirian. Dia harus menggunakan kedua kaki cantiknya ini jika ingin mengunjungi suatu tempat.
Segala keperluan Prim disini sudah diurus oleh Reno. Mulai dari rumah ini misalnya, juga mendaftarkan Prim ke salah satu perguruan tinggi. Karena menurut Reno, Prim memerlukan aktivitas yang berguna selama tiga tahun ini. Reno mendaftarkannya ke salah satu perguruan tinggi disini, program diploma. Karena Prim hanya akan tiga tahun disini. Prim sendiri masih bingung apa yang harus dia lPrimkan selama tiga tahun ke depan.
Reno juga yang mengurus identitas palsu yang akan Prim gunakan mulai sekarang. Reno menyerahkan semua yang Prim butuhkan selama berada disini. Prim tidak bisa dan tidak diperkenankan memberitahu siapapun mengenai identitas aslinya. Itu perintah papa kata Reno.
Perkenalkan kembali, namanya Primrose Stevanie. Nama ini tidak terlihat sebagai identitas palsu bagi Prim. Tidak terlalu jauh, bahkan itu jelas namanya. Hanya saja tidak ada nama keluarga itu di belakangnya.
"Kamar nona yang ada di belakang, saya akan menunggu kamar yang di depan." Reno menjelaskan. Sontak hal itu membuat Prim terkejut.
"Maksudnya kamu sama saya tinggal dalam satu rumah?" Prim bertanya dengan tatapan heran. Bagaimana bisa seorang laki-laki tinggal satu atap dengannya.
Seolah mengetahui apa yang ada dipikiran Prim. Reno langsung menjelaskan,
"Saya tidak akan berbuat aneh-aneh, Nona. Saya dan keluarga saya bisa-bisa dibunuh oleh Tuan Damanik." Reno tersenyum geli melihat wajah Prim yang merah padam, "Saya hanya ditugaskan untuk menemani anda."
"Sudah nya bilang bukan, panggil Prim Prim."
Prim melangkahkan kaki ke arah yang ruangan yang disebut Reno sebagai kamarnya. Perlahan dia buka pintunya dan melangkah masuk. Prim mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Hanya terdapat sebuah single bed yang terletak di sudut kiri kamar dan meja kecil yang di atasnya terdapat lampu tidur. Juga sebuah kamar mandi di sudut kanan kamar. Dinding kamar ini berwarna putih tulang, juga terdapat sebuah jendela. Ini kamar?
Prim melangkah dan duduk di pinggir tempat tidur. Kamar ini sangat jauh berbeda dengan kamarnya yang kemarin. Mulai dari luasnya, boneka-boneka besarnya yang senantiasa menemani tidurnya dan juga dinding kamar yang berwarna aqua. Oh, Prim sudah merindukan kamarnya. Rasanya ingin dia pindahkan kamarnya kesini. Tapi itu jelas dan sangatlah mustahil Prim kerjakan. Prim memang bisa melakukan apa pun, tapi dia rasa tidak dengan itu.
"Non-, eh... Prim," Reno tergagap memanggil Prim. "Saya mau keluar sebentar, masih ada yang harus diurusin."
Reno meninggalkan rumah setelah menjelaskan apa yang harus Prim lakukan selama dia pergi. Prim harus merapikan dan membersihkan rumah ini dengan tangannya sendiri. Tangannya sendiri. Baiklah, Prim akan mulai belajar semuanya dan mengerjakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Prim merapikan dan mulai membersihkan ruangan, mulai dari ruangan terdepan hingga ke bagian dapur di belakang.
Prim baru menyelesaikan pekerjaan –yang sungguh berat- ini pada sore hari. Rasanya punggungnya sebentar lagi akan lunglai karena semua tulangnya akan lepas. Jadi seperti ini rasanya membersihkan rumah. Huft.

KAMU SEDANG MEMBACA
That's Why I Did
Storie d'amore-That's Why I Did- Aku bisa melakukan apa yang kalian katakan tidak bisa. Kalian bilang aku tidak bisa melupakan Jonathan? Aku bisa! Aku bisa karena prinsipku itu. "Kau bilang bisa melakukan apapun? Coba kau patahkan prinsipmu itu. Aku rasa kau tida...