That's Why I Did - 9

67 16 2
                                    

That's Why I Did – 9

Prim dan Jonathan sedang berada di warung Bu Asri, duduk berhadapan di sebuah meja di pojok warung. Mereka memesan dua porsi nasi uduk. Semula Prim takut jika saja Jonathan tidak mau makan makanan yang seperti ini. Karena kalian tahu sendiri dengan keadaan yang sebenarnya, tidak mungkin bukan seorang Jonathan akan langsung terima makan seperti ini. Namun diluar dugaan dia malah dengan lahap memakannya.

"Di tempat kita enggak ada makanan yang beginian, Prim. Jadi kapan lagi makannya kalau enggak sekarang,"

Seperti biasa, mereka tidak akan langsung pulang. Di rumah kalau sekedar mengobrol dan ada Reno pula membuat suasana sedikit canggung. Kalian bisa tahu sendiri bagaimana rasanya menjadi Reno. Apalagi dengan Jonathan yang ada di rumah, membuatnya nampak lebih canggung lagi. Dia selalu saja mengisyaratkan secara tersirat kalau dia itu hanyalah seorang assistent.

"Aku pulang enam hari lagi,"

Jonathan menatap sebal layar ponselnya. Pandangannya tertuju pada tanggal yang ditampilkan di layar ponselnya. Kenapa cepat sekali rasanya dia berada disini, padahal yang diinginkannya adalah keadaan sebaliknya, berlama-lama.

"Kemaren ngapain aja di Australia?"

"Biasa. Ngurusin anak-anak, pada gak nurut." Jonathan bergurau, dia sama sekali tidak ingin membahas perusahaan jika sedang bersama dengan Prim. Katanya dia malu karena tingkat Prim lebih tinggi dari dia.

Memang benar jika tingkat Prim lebih tinggi dari Jonathan, tapi itu hanya masalah nama belakang. Karena nama belakangnya "Damanik", hanya itu saja. Padahal dikenyataannya, jauh lebih berpengalaman Jonathan dibanding Prim.

"Tapi sekarang udah gak pa-pa, kan?"

"Tenang aja, Prim. Kamu gak akan kelaperan kok kalo nikah sama aku nanti,"

Demi apapun rasanya saat ini Prim sangat kesal dan... malu. Jelas bukan itu maksud dari pertanyaannya. Ahh... dasar Jonathan. Prim lebih memilih menunduk menghindari matanya. Tidak bisakah Jonathan tidak mengatakan itu? Bukan karena Prim tidak mau mendengarnya, bagaimana kalau sampai ada yang dengar? Lagipula kalimatnya tadi jelas saja sangat berpengaruh dengannya. Prim rasa sekarang pipinya berubah warna layaknya udang rebus.

"Prim, baik-baik aja, kan? Gak usah terharu gitu deh,"

"Jonathan!" Prim sengaja menginjak kakinya, biar dia tahu rasa. Tidak bisakah dia berhenti menggoda Prim? Oh rasanya sekarang Prim ingin pulang, Prim malu menunjukkan wajahnya.

Baiklah sudah diputuskan, Prim ingin pulang. Membiarkan Jonathan berlama-lama disini bisa-bisa membuat rahasia yang seharusnya tidak diketahui orang lain bisa terbongkar. Prim beranjak dari duduk sambil menutupi kedua pipinya. Prim bisa yakinkan kalau sekarang pipinya merona karena terasa panas melalui kulit tangannya.

"Aku mau pulang,"

Prim melangkahkan kaki tidak perduli dengan Jonathan yang masih duduk manis dikursinya. Prim menunduk sopan kepada Bu Asri ketika ingin meninggalkan warungnya. Bu Asri yang melihatnya pergi sambil memegangi pipi malihatnya dengan heran.

"Itu Neng Prim kenapa?" Bu Asri bertanya kepada Jonathan yang masih berada di warungnya.

"Gak tahu, bu. Emang suka aneh anaknya, pipinya takut lari katanya. Saya permisi dulu, bu."

Prim masih bisa mendengar kata-kata yang diucapkan Jonathan dari kejauhan ini. Bisa-bisanya dia, huhh membahas kelakuan Jonathan tidak akan pernah ada habisnya.

That's Why I DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang