Bab 14

49K 3.3K 35
                                    


Semenjak pulang dari restoran sore tadi Kelvira memilih mengurung dirinya di kamar, dengan alasan lelah karna habis olahraga. Dia berusaha bersikap tegar di depan orangtuanya, dia hanya tidak ingin dicap berlebihan dalam mencintai, jadi pilihan terbaik adalah mengurung diri dan menangis sendirian.

Annisa sedari tadi mendiamkan putrinya, memberi sedikit waktu bagi Kelvira untuk melampiaskan kesedihan. Namun saat suara isakan Kelvira kian terdengar hingga larut malam, Annisa tak mampu lagi membiarkan putrinya menangis sendirian. Dia kini sudah berada di depan pintu kamar, isakan tertahan yang terdengar begitu menyayat hati sang ibu.

"Dia masih menangis?" Purna menghampiri Annisa dan sesuatu langsung menggores hatinya saat dia mendengar tangisan putrinya yang begitu lirih, Annisa menjawabnya dengan anggukan.

"Masuklah, aku mohon tenangkan dia" sambil meremas bahu Annisa. "Dan..berikan ini padanya"

Annisa mengambil kertas yang diulurkan suaminya, dia menarik napas dalam-dalam lalu mengetuk pintu. "Kel, boleh Ibu masuk?" izinnya.

Seketika tangisan Kelvira berhenti, hening beberapa menit, sepertinya dia sedang mengendalikan perasaannya. "M-masuk saja, Bu" ucapnya parau.

Kelvira langsung membenahi duduknya dan memaksakan tersenyum pada Ibunya, dia bersyukur karna masih bisa tersenyum, walau dipaksakan. Melihat ekspresi putrinya yang pura-pura ceria dengan mata bengkak dan sembab, Annisa langsung meraih tangan Kelvira dan menggenggamnya dengan lembut juga hangat.

"Kel, kamu tau mutiara? Untuk menjadi bentuk yang indah, dia mengalami proses tekanan yang dahsyat. Begitupun kehidupan, tiap tekanan yang hebat dalam sebuah ujian akan membentukmu menjadi pribadi yang lebih kuat" mata teduhnya membelai Kelvira.

Gadis itu balas menatap Ibunya tanpa senyuman namun matanya berkaca-kaca, tanpa berkata apapun dia yakin Ibu tahu betul bagaimana perasaannya saat ini.

"Tadi Papa menulis ini untukmu, dia hanya bisa menguatkanmu lewat tulisan ini" Annisa menyerahkan secarik kertas kecil.

Kelvira menerimanya ragu dan segera membuka lipatan kertas itu dengan tangan yang bergetar.

Putri Papa yang dicintai Allah..apabila hatimu seluas lautan, keikhlasanmu sebesar ribuan bintang, seperih apapun rasa sakit yang kamu miliki, pasti tidak akan terasa menyakitkan dan kamu akan tetap kuat. Sebaliknya, jika hati itu sempit, ikhlas itu sebesar debu, sekecil apapun rasa sakit yang kamu miliki akan mampu membuat hidup dan hatimu hancur

Membaca itu hati Kelvira langsung bergetar, dia kembali menatap Ibunya. "Kelvira harus bagaimana, Bu?"

"Mulailah membangun pondasi keikhlasan dan kelapangan hati, seperti yang Papamu harapkan. Ibu yakin, seiring berjalannya waktu kamu akan menjadi perempuan tangguh yang tak terkalahkan. Tegakkan wajahmu dan melangkahlah lebih jauh, perjalanan hijrahmu masih panjang, Nak, jangan habiskan waktumu dengan bersedih"

Kelvira menunduk dan mengangguk lemah, dia menyembunyikan airmatanya yang kembali meleleh. "Tapi, Bu..airmata ini sangat susah diatur, dia terus saja mengalir tanpa perintah dan Kelvira tidak tau bagaimana cara menghentikannya"

Kelvira menangis terang-terangan menampakkan sisi keremajaannya, tak peduli lagi jika kepura-puraannya kini terkuak. Annisa tak kuasa melihat itu dan langsung merengkuh tubuh lemah Kelvira, membiarkannya menangis dalam dekapan.

"Ibu mengerti...sangat mengerti. Bersedih adalah hal yang manusiawi, namun berlarut dalam kesedihan adalah hal yang dibenci. Kali ini, Ibu membiarkan kamu menangis, namun hari-hari selanjutnya, Ibu mohon, jangan ada lagi airmata"

Kelvira bergumam lirih dan tangisnya pecah di pelukan Annisa, dia menumpahkan semua kesedihan yang sedari tadi dipendamnya, hingga rasa nyaman tiba-tiba menyeruak di hatinya. Dia jadi teringat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa cinta ibu itu menenangkan, cinta ayah itu menguatkan. Dan kini, Kelvira telah membuktikan kebenarannya.

Hijrah Cinta [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang