17 - Wrecking Balls Inside My Brain

110K 7.9K 474
                                    

Jadi, siapa yang pengen dipeluk A Muda kalau lagi sedih?

-

-

-

Alena tidak pernah menjawabnya. Bahkan sampai Muda memesan kembali makanan miliknya dan menghabiskannya dengan sangat lama―sekedar untuk memberi waktu Alena untuk berpikir atau mungkin memikirkan jawaban, tetapi bibir gadis itu membungkam tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

Sudah Muda kira. Tidak semudah itu.

Maka dengan menghabiskan makanan yang kembali ia pesan, Muda mulai mengajak Alena membicarakan hal yang lain lagi. Menurutnya malam itu sudah cukup, ia tidak akan memaksa Alena memberikan jawaban atas pertanyaan isengnya. Bukan apa-apa, Muda hanya tidak mau kalau Alena justru terlalu banyak berpikir, merenung, bahkan hal lainnya yang berakibat gadis itu akan menghindari Muda dan tentu saja membuatnya tersiksa.

Beruntung, Alena masih bersikap biasa-biasa saja padanya satu bulan ini. Malah justru terlihat lebih manja, seperti kemarin tiba-tiba saja Alena ingin dijemput oleh Muda dan berjalan-jalan di malam hari sekedar untuk memakan sop buntut yang berada di pinggir jalan. Bahkan sejak semalam, Alena juga tak henti-hentinya mengiriminya pesan, bahkan sebuah voice note yang hanya sekedar memanggilnya 'Aa...' atau 'Kekasih... kangen'. Begitu. membuat Muda terus menerus tersenyum sepanjang harinya.

"Abaaaang!!! Dengerin Icha nggak sih? kok malah mesem-mesem begitu? woyyy ini adek lu lagi ngomong nih baaang!"

Muda menggaruk kepalanya, menumpukan sikunya pada meja kerjanya kemudian menatap adiknya yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam.

"Nggak usah teriak-teriak ah Cha. Berisik."

"Idihh!! Icha dari tadi udah pelan kali bang ngomongnya. Abangnya aja yang nggak perhatiin. Periksa ke THT gih bang, atau cepet nikahin si Lenoy sanaa... keburu bangkotan loh nanti."

"Ya Allah, kurang ajar kamu Cha."

"Abisnya. Kenapa sih abang? Bilangin pak Iskandar loh kalau abang nggak kerja dan malah senyam-senyum nggak jelas begitu."

"Dasar tukang ngadu kamu."

"Biarin aja, buat apa ada pak Iskandar kalau Icha nggak bisa ngadu. Hyaah, kalah lu bang!"

"Ah, udah Cha. Pulang aja kamu sana. Abang mau kerja."

"Pulang-pulang! Kalau abang tahu Icha sama siapa kesini, nggak mungkin abang nyuruh Icha pulang."

"Memangnya sama―"

"Halo A..." Suara khas milik kekasihnya terdengar menyapa telinga Muda dengan lembut. Muda menolehkan kepalanya, gadis itu tampak cantik dengan skinny jeans berwarna biru serta kaos berwarna putih. Rambutnya ia ikat, di gelungkan ke atas dengan poninya yang ia atur dengan sedemikian rupa sehingga membuat wajahnya benar-benar sangat cantik dan menggemaskan.

Alena berdiri di depan pintu dan melambaikan tangannya pada Muda. Sebuah binar yang begitu jelas memancar di wajah Iskandar Muda begitu menatap Alena yang berdiri tak jauh darinya.

"Loh, kamu kok nggak bilang ke Aa kalau mau kesini?" Muda bangkit dari kursinya dan memutari meja kemudian menghampiri Alena, membimbingnya menuju sofa yang berada di ruangannya.

Icha sekarang ia acuhkan, ibu satu anak itu menggerak-gerakkan bibirnya seraya mendumel tak henti-henti, "Okay. I'm invisible. Cukup tahu." Sindirnya.

Icha membalikkan tubuhnya dan menatap kedua manusia yang tengah duduk di atas sofa dengan wajah mereka yang benar-benar menggelikan.

Tapi tunggu!

A Short Journey (3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang