1.0 - Bitter

238 17 3
                                    

Keiza menutup pintu lokernya setelah mengambil beberapa buku paket untuk ujian mata pelajaran selanjutnya. Keiza berbalik dengan kedua lengannya yang memeluk buku, namun saat ia hendak melangkah sebuah jemari milik seseorang menahan keningnya agar ia berhenti melangkah.

Mendongak, Keiza berdecak saat melihat Farrel berdiri di sana dengan cengirannya. Farrel menurunkan tangannya dari kening Keiza, bola matanya bergerak-gerak sekilas sebelum memandang Keiza.

"Pagi, Kei. Hari ini cerah, ya?" sapa Farrel ceria, seperti biasa.

Keiza mengernyit, ia menatap lurus ke arah langit yang berwarna biru sedikit gelap. Lalu ia kembali menatap Farrel. "Oh, jadi kalo langit gelap, itu namanya cerah, ya?" tanya Keiza, ia melangkahkan kakinya.

Farrel mendongak, menatap langit sekilas sebelum berbalik dan mensejajarkan langkah kakinya dengan Keiza yang sudah berada di depannya. "Serius, tadi langitnya cerah tau, Kei. Oh, gue tahu, mungkin langitnya moody-an, atau langitnya cemburu liat gue jalan berduaan sama lo makanya langsung mendung-mendung mau nangis gitu."

Keiza menoleh ke arah Farrel yang berjalan di sebelahnya, sedikit mendongak untuk menatap wajah Farrel yang lebih tinggi dari pada ia. "Hm ..., atau langitnya bipolar?" tanyanya.

Farrel langsung menoleh pada Keiza dengan jari menjentik. "Jangan-jangan iya lagi, Kei!" katanya heboh.

Keiza memutar bola matanya malas. "Mana ada langit bipolar, Genius?"

"Lah tadi 'kan elo yang bilang,"

"Lo bener-bener genius, ya, Far. Gila, gue salut loh sama lo," Keiza mendecak, menggeleng-gelengkan kepalanya agar lebih mendramatisir suasana.

Farrel tersenyum lebar, membuat lesung pipinya terlihat jelas seiring kian bertambah lebar senyum yang tercetak di wajahnya. "Ah elo, gue jadi malu, nih."

"Padahal gue tadi nyindir elo, tau. Ah elo mah gitu, Far, suka nggak pekaan orangnya," Keiza pura-pura mencebikan bibirnya.

Farrel tertawa melihat ekspresi Keiza, kemudian ia mencubit pipi Keiza dengan gemas. "Ihh lucu banget, siih. Jadi pengen nyium 'kan,"

Keiza meringis, sebelah tangannya yang tidak menggenggam buku memukuli tangan Farrel. Setelah tangan Farrel lepas, ia mengusap-usap pipinya yang mulai berubah warna menjadi kemerahan. "Lo ngeselin banget, sih, Faaar! Pipi gue sakit, nih, jadinya."

Farrel tersenyum, kemudian tangannya terangkat untuk mengusap pipi Keiza yang sebelumnya ia cubit. "Gimana, masih sakit nggak?"

Keiza menjauhkan wajahnya dari tangan Farrel, ia memandang wajah Farrel garang. "Ih, lo apaan, sih?"

"Padahal mau tuh," Farrel menaik turunkan kedua alisnya, menggoda. "Ah, elo mah gitu, Kei. Suka malu-malu kucing gitu orangnya, tapi lebih lucuan elo kok daripada kucing,"

"Apaan, sih," Keiza memalingkan wajahnya, berusaha membuat Farrel tidak dapat melihat rona merah yang mulai menghiasi kedua pipinya.

"Kucing sakaratul maut maksudnya," Farrel menambahkan ucapan ia yang sebelumnya.

Keiza langsung menoleh dan menatap Farrel kesal. "Ah elo mah gitu, Far, orangnya."

"Bercanda doang kok Kei gue. Mau kucing sakaratul maut kek, kucing sekarat kek, kucing kelelep kek, cuman elo yang paling lucu." Farrel terbahak melihat wajah kesal Keiza. Tangannya tanpa sadar terangkat dan merangkul Keiza dari samping, saat sadar Farrel langsung melepas rangkulan itu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Eh, sori, Kei, sori. Tangan gue emang suka rese gitu, suka rangkul-rangkul sembarangan,"

Keiza menahan rona merah di pipinya karena malu. "Ye, kegenitan lo dasar,"

Farrel tersenyum. "Pengen ngerangkul, tapi sayang bukan pacar." gumam Farrel lebih pada dirinya sendiri, namun tanpa sadar Keiza mendengar gumamannya barusan.

Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang