1.3 - The Truth

262 22 0
                                    

Farrel menutup pintu mobil. Ia mengeluarkan kamera miliknya itu dan mengalungkannya di leher.

Cowok itu melangkah memasuki pekarangan rumahminimalis milik seseorang yang ditujunya dengan perlahan, hingga ia tiba di depan pintu rumah yang tertutup, cowok itu mengetuk-ngetuknya hingga seorang wanita setengah baya membuka kemudian menyambut kedatangannya.

---

Engkau datang

Bagai ombak menerjang

Di pagi hari yang terang

Bersama kicauan burung yang terbang

Kemudian kau pergi

Dengan sesuka hati

Tanpa berpikir dua kali

Dan kau pun tak datang kembali

Isak tangis ku pendam sendiri

Hingga aku meringis nyeri

Tanpa ada yang mengetahui

Dan juga peduli

Tetapi biar saja begitu

Hingga hari berlalu

Dan kau tak lagi mengingatku

Sedang aku hanya dapat menunggumu

Senyum Avari terukir begitu puisi buatannya sudah selesai ia tulis di selembar kertas. Ia membaca ulang bait demi bait kata dalam puisi tersebut, namun senyum Avari terhapus sudah saat selesai membaca puisi tersebut.

Puisi galau lagi. Batin Avari kesal. Entah karena apa, mood menulis puisi yang akan ia publikasikan dalam blognya selalu berakhir seperti ini, menjadi sebuah puisi galau menye-menye yang Avari bingung dari mana bisa kata-kata tersebut terbesit dalam benaknya dan kemudian dituangkan dalam sebuah kertas oleh tangannya.

Ia masih mengingat perkataan Farrel, jika tidak perlu banyak curahan hati di dalam blognya yang malah akan membuat blognya penuh oleh sampah tak berguna. Lagipula walaupun ia curhat di blognya tersebut, belum tentu ada yang perduli—simpelnya, belum tentu akan ada yang membacanya, bukan?

Setelah menghela nafas, Avari meremas-remas kertas berisi tulisannya tersebut. Dan bertepatan dengan itu, pintu kamarnya terbuka dan kepala Meta muncul dari sela pintu yang terbuka.

“Vari, Farrel udah dateng, tuh,” ucap Meta.

Vari mengangguk-angguk. “Suruh Farrel ke kamar Vari aja dulu, Ma, Vari ada urusan dikit sama dia.”

Meta mengernyit. “Ya udah tapi ngobrol sama Farrelnya yang cepet, biar bisa cepetan nganterin kuenya Bu Dina.”

“Iya, Ma, iya ....”

“Ya udah,”

Ceklek

Pintu kembali tertutup dan Meta pun sudah beranjak pergi dari sana, Vari dapat mendengar samar suara berat milik Farrel tengah bercakap-cakap sebentar dengan mamanya. Kemudian pintu kembali terbuka dan sosok tinggi Farrel muncul dari sana.

Ceklek

Farrel berjalan mendekat setelah menutup pintu dengan punggungnya. Gigi-gigi rapi milik cowok itu terlihat seiring melebarnya cengiran cowok itu.

“Bantuan apa yang bisa diberikan oleh orang baik kayak gue, Var?” tanya Farrel pede. “Eh, kenapa muka lo murung gitu, deh?” tanyanya lagi saat menyadari ekspresi yang ditunjukan oleh Avari.

Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang