1.4 - Gone

296 18 0
                                    

“Gimana, Rel, berhasil 'kan?”

Farrel yang baru memasuki mobil langsung disambut oleh senyum lebar Avari yang menunggu dengan sabar di dalam mobil seraya mengamati apa yang dilakukan oleh Farrel dan Alika dari balik kaca jendela mobil.

Setelah masuk ke dalam mobil, Farrel buru-buru menstarter mesin dan melajukan mobil menjauhi pekarangan rumah Alika. Setelah dirasa cukup jauh, tangan Farrel yang bebas mengacak-acak rambutnya yang sebelumnya tertata rapi menjadi acak tak beraturan. Ia sudah gerah berpura-pura menjadi Fausta, karena Fausta yang rapi bukan seperti dirinya yang urakan.

Farrel melepas kancing-kancing kemejanya yang sebelumnya terkancing rapi sampai atas menjadi tak berkancing, meninggalkan kaus hitam polos di dalamnya. Ia langsung menoleh pada Avari begitu urusannya selesai. “Gila, gerah banget gue jadi Fausta.” keluhnya.

“Ih, gue nanya dodol! Jadi berhasil 'kan rencana kita?” Avari menatap Farrel penuh harap.

Farrel mendengus keras lalu menegakan punggungnya. “Var, selama ini lo juga gue salah paham,” ucapan Farrel membuat kening Avari berkerut. Melihat tak ada respon dari orang yang diajak berbicara, Farrel kembali melanjutkan kalimatnya. “Alika tulus, dia nggak ada maksud egois sama sekali ke Fausta. Dia justru mutusin itu selain karena mau lanjut kuliah ke Inggris, dia juga lakuin ini demi lo.” Farrel menekan ucapannya pada kata 'demi lo'.

Mata Avari membulat. “Demi gue apaan? Maksudnya tuh apa, sih?”

“Gini loh, dia itu sayang banget sama lo. Dia sedih gitu liat lo jauhin dia karena dia udah khianatin lo, jadi dia mutusin Fausta. Dia nggak mau egois ke lo, makanya dia korbanin Fausta, Var. Alika baik, kita salah.” ucap Farrel serius.

“Tunggu ..., dia bilang gitu ke elo? Dia nyebut nama gue dong tadi?”

Farrel menggeleng, lalu memelankan laju mobil perlahan karena lampu berubah merah. “Dia nggak nyebut nama lo, dia bilang kalo nggak salah tuh, di deket lo ada seseorang yang sayang banget sama lo melebihi gue sayang sama lo,” ucap Farrel dengan gaya suara yang diubah seperti suara Alika saat mengucapkan kata-kata barusan. Farrel merubah kembali suaranya seperti semula. “Gitu. Berarti dia juga masih hargain perasaan lo dengan nggak nyebut nama lo 'kan?”

Avari menunduk, merasa bersalah karena telah berpikir yang tidak-tidak tentang Alika yang pada nyatanya sangat baik padanya.

Atau lebih tepat, ialah yang egois di sini.

“Jadi, gimana?”

“Alika minta Fausta dateng ke bandara malem ini, buat ketemu sama dia untuk yang terakhir sebelum dia pergi. Dan gue nggak bisa egois, mau nggak mau gue harus kasih tau Fausta tentang hal ini.” ucap Farrel yakin.

“Lo serius?”

“Ya, gue serius.” ucap Farrel mantap lalu menjalankan mobil kembali karena lampu sudah berubah warna menjadi hijau.

Suasana mobil hening hingga suara Farrel kembali terdengar. “Loh, itu bukannya Keiza, ya?”

Avari langsung memincingkan matanya. “Mana?”

Farrel menunjuk seorang perempuan yang baru saja keluar dari dalam mobil sedan berwarna putih bersama seorang gadis yang tak Farrel kenal. Mereka memasuki gerbang besar yang tak lain adalah pemakaman. Pemakaman yang sama yang menjadi tempat peristirahatan terakhir ayah Farrel.

---

Keiza baru selesai mencuci piring saat ponselnya berbunyi dari ruang tamu. Dengan langkah santai seraya mengelap tangannya yang basah pada handuk kecil, ia berjalan menuju ruang tamu dan mengambil ponselnya itu.

Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang