Chapter 1
Langit mulai memberikan semburat senja, hiasan kapas putih kini tengah beradu dengan sinar mentari menghasilkan kapas jingga yang lebih indah. Angin kembali menunjukkan kekuasaanya, hembusan terus-menerus terjadi membuat apa yang dilaluinya bergoyang. Guguran ranting kecil serta daun yang menguning jatuh perlahan dan disambut oleh kerasnya tanah.
Terus seperti itu setiap detiknya, tak akan pernah berhenti jika Tuhan yang menginginkannya. Begitu pula dengan hidupku, aku akan terus seperti ini kecuali Tuhan memberikan takdir sedikit lebih baik untukku.
Takdir yang lebih baik? Bisa saja Tuhan memberikannya untukku jika aku mau berusaha merubahnya. Ya, berusaha untuk merubahnya. Tetapi setiap aku berusaha merubah tidak ada yang menjadi lebih baik, malah sebaliknya. Takdir buruk kembali aku dapatkan.
Aku tidak mengerti mengapa setiap kali berusaha merubahnya, selalu jauh dari harapanku. Mungkinkah caraku yang salah? Mungkinkah Tuhan belum menghendakinnya? Atau karena aku terlalu berharap sehingga Tuhan tak mau mengabulkannya?
Mungkinkah Tuhan menyiapkannya di esok hari? Benarkah Tuhan menyiapkannya dihari esok. Jika, iya aku sungguh menantikan hal itu.
Aku tau, tak seharusnya aku mengeluh terus menerus dan yang aku tau, Tuhan memberiku takdir yang baik, meski menurutku itu tidak adil sama sekali. Bukankah Tuhan itu adalah hakim yang paling adil?
Aku menghembuskan nafas pelan, pandanganku aku alihkan kearah kiri. aku tersenyum sejenak lalu bangkit dari ayunan yang sedang aku duduki. Tubuhku aku perintahkan untuk berjongkok, lalu mengambil sebuah anak panda yang tengah asyik menguyah bambu muda.
Anak panda itu adalah hewan peliharaan kesayanganku, dulu aku tidak sengaja menemukannya dipinggir jalan. Entah mengapa aku merasa kasihan dan memutuskan untuk membawanya pulang.
Kembali aku duduk di ayunan yang tergantung di dahan pohon, anak panda ini tetap diam dalam pangkuanku. Perlahan-lahan kembali aku lajukan ayunan ini.
Duduk di ayunan menikmati indahnya warna semburat merah yang membentang luas, angin yang menampar pelan tubuhku membuat rambut pendek milikku sedikit berterbangan, hamparan rumput ilalang yang menari indah karena bantuan angin mampu membuat diriku tersenyum.
"Kau tau Bubu, hari sudah memasuki senja sedari tadi." Gumamku pada anak panda ini. "Lihat, langit senja itu bukankah selalu indah?" Lanjutku dengan seutas senyum.
"Langit sore hari begitu indah bukan? Indah dengan semburat jingga yang membentang diufuk barat. Kau tau, senja tidak pernah marah kepada malam karena dia menenggelamkan warnanya. Senja hanya befikir setidaknya dia bisa membuat keindahan meski dalam waktu yang singkat."
"Jika kau melihat senja, kau pasti mempunyai kesan tersendiri. Kesan yang bagaimana, hanya kau yang dapat merasakannya."
Aku sedikit menarik ujung bibirku. Aku teringat dengan perkataan seseorang yang tak sengaja bertemu dulu sewaktu melihat senja. Dia bercerita banyak tentang senja, namun aku tidak tau siapa nama seseorang itu.
"Senja selalu mempunyai kesan." Gumamku sembari menatap langit senja yang sebentar lagi akan memudar.
Kata 'Senja' mempunyai banyak arti yang tersirat, arti yang berbeda-beda setiap orangnya. Menurutku sendiri senja adalah akhir dari sebuah siang dan pembuka dari sebuah malam. Datang dengan warna yang begitu indah, membentang tanpa perduli akan ada yang melihatnya atau tidak, berusaha membuat orang yang melihatnya terkesima lalu menghilang tanpa beban.
Ku tutup kedua kelopak mataku, mencoba setenang mungkin dan merasakan setiap hembusan angin. Ini sangat menyenangkan.
Aku kembali membuka kelopak mataku, kali ini aku merasa tenang. "Hanya sebagian orang yang menyadari, kalau senja begitu indah." Ujarku pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion
FanfictionDandelion. Sama kah hidupku dengan bunga Dandelion? Rapuh, sendiri, tak terlihat oleh siapapun Hanya sebuah karya fiksi semata.