Chapter 16

1.1K 103 37
                                    


Awas typo bertebaran!




Kinal merebahkan tubuhnya pada ranjang kesayangannya. Tubuhnya terasa sangat lelah, karena hampir seharian ini dirinya pergi menjelajah? Bukan menjelajah, hanya berkunjung ke beberapa tempat itupun kerena Veranda yang mengajaknya tanpa persetujuan sebelumnya.

Kinal beranjak dari ranjangnya, dia memndekati meja belajarnya. Tepatnya di bawah meja belajarnya, disana ada sebuah kantung putih berisikan bunga Dandelion pemberian dari wanita tadi.

Kinal mengambil bunga tersebut, mengeluarkannya dari kantung plastik dan membawanya menuju nakas samping ranjangnya. Kinal diam memperhatikan bunga itu lekat-lekat.

Rekaman kejadian tadi dengan wanita tersebut mulai berputar dengan beberapa jeda.

"Kenapa pendapat wanita itu tentang bunga Dandelion hamir mirip dengan kehidupanku?" gumamnya dengan kembali mengingat perkataan yang dilontarkan wanita yang ditemuinya di toko bunga.

"Samakah aku dengan bunga Dandelion?" gumam Kinal lagi.

"Dandelion tidak tumbuh sebagai bunga hias yang berada di taman-taman kota yang menunjukkan kehidahan pada setiap orang. Saat Dandelion disandingkan dengan ilalang jalanan, maka Dandelion sangat jarang dapat dilihat dan menyadari keberadaannya, lalu ketika ilalang menyembunyikannya dalam senja juga tidak membuat Dandelion sedih, karena dia bagian dari itu. Dandelion tidak akan berhenti berusaha untuk terlihat."

"Penjelasan itu mengapa seakan mirip dengan kenyataan hidupku. Aku jarang terlihat oleh orang, bahkan keberadaanku juga tidak akan disadari. Mana ada orang yang mau melihat gadis tunarungu seperti aku? Aku kalah dengan dia yang terlihat sempurna, dan selama ini benarkah aku berusaha untuk terlihat di depan orang lain?" gumaman Kinal itu terus berlanjut.

"Dandelion meskipun terlihat lemah saat digoyangkan oleh angin, tapi ia masih tetap berusaha menjadi tegar dan kuat melawaan terpaan angin yang seolah akan mencabutnya dari tempatnya."

"Kalimat itu, sama dengan aku yang selalu terlihat lemah karena amukan dari Papa ataupun Mama. Tetapi aku masih bertahan hingga detik ini." gumam Kinal lagi.

"Bunga Dandelion si mungil bertopi putih. Ia hanyalah si kecil yang terlihat rapuh. Rapuh karena angin yang menerbangkannya, tetapi Dandelion tidak pernah marah kepada angin karena menerbangkannya dan menjatuhkannya disuatu tempat. Justru Dandelion bersyukur, dimana pun dia terjatuh entah di jalan bebatuan, tanah tandus, ataupun di semak-semak, Dandelion akan tetap berjuang untuk hidup."

"Aku memang rapuh, ketika rasa tidak adil selalu berpihak kepadaku. Dan rasa tidak adil itulah yang membawaku pada kubangan luka, pada kubangan luka itulah aku hidup, berusaha bertahan hingga detik ini." gumam Kinal lagi dengan menyamakan pendapat wanita tersebut yang kebetulan hampir mirip dengan hidupnya.

Hidup dalam keadaan tidak adil itu tentu membuat siapa saja tidak nyaman. Dari semua keadaan yang tidak adil itu, Kinal mencoba bertahan karena hanya itu yang bisa dia lakukan.

Putus asa? Tentu dia pernah, bahkan berpikir akan mengakhiri hidupnya hampir Kinal lakukan. Tetapi Kinal kembali berpikir, kalau dia mengakhiri hidupnya maka Tuhan akan marah kepadanya, dan dia tidak mau Tuhan marah kepadanya.

"Mengapa bisa mirip seperti itu?" Kinal seolah bertanya pada dirinya sendiri. "Benarkah aku sama dengan bunga Dandelion?"

"Tidak mungkin, itu hanya sebuah kebetulan belaka." ucap Kinal sedikit mengangguk. "Bodoh jika aku percaya!" Kinal mencaci dirinya sendiri.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang