Tujuh Belas

37 4 0
                                    

Papa nggak mau naik angkot, kemahalan katanya. Papaku gitu-gitu juga tahu berapa ongkos angkot. Papa juga tahu banget rute angkot di Bandung, bahkan kalau aku harus ke Cimahi dari Panyileukan. Jadi kami jalan kaki dari alun-alun ke jalan Braga. Padahal lumayan jauh.

"Ini namanya jalan Braga," ucapku setelah sampai, menirukan pemandu wisata. Adam melihat sekeliling. "Banyak night club ya," ucapnya. Aku agak kaget, kok dia bisa tahu ya. Apa dia suka clubbing? Dulu aku mengira night club adalah toko-toko yang bangkrut. Soalnya, setiap kali aku lewat, selalu tutup.

Banyak pelukis yang mempersiapkan dagangannya. Ada yang mempersiapkan easel dan kanvas kosong. "Pelukis di sini suka bikin karikatur nggak?" tanya Adam. Aku mengangkat bahu. "Tanya aja," Adam pun berjalan mendekati salah satu pelukis. Mereka berbicara sebentar.

"Lin, sini!" panggil Adam. Tangannya mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Aku menggeleng. "Sini ih, dibikinin karikatur!" teriak Adam. Entah kenapa, aku nggak mau dibikinin karikatur. Kalau sendiri gapapa. Mama mendorongku pelan. Aku mundur lagi. "Ya udah, papa aja," papa berjalan dengan semangat ke arah pelukis dan Adam. "Nanti bikinin yang saya sendiri ya, Mas!" aku mendengar papa berkata dengan semangat. Mereka pun berpose layaknya ayah dan anak.

"Sebenernya mau ngapain sih?" tanya mama. "Beneran, mau keliling Bandung sama Adam," jawabku. Aku jujur. Aku cuma nggak menceritakan maksud sebenarnya. "Kenapa harus sama kamu?" tanya mama. "Nggak tahu," jawabku. Sebenarnya aku yang ngajak Adam. Tapi ya, aku nggak enak aja bilang gitu ke mama. "Bener-bener keliling Bandung?" tanya mama. "Nggak sih, cuma tempat-tempat yang kata ade bagus aja," jawabku. "Mama sama papa harus ikut?" tanya mama. "Terserah sih," jawabku. Mama mengangguk. Pasti bakal ada saatnya mama sama papa malas ikut dan udah percaya sama Adam. Tapi kok aku sendiri jadi nggak percaya dia?

"Liat nih, Lin, karikatur papa! Bagus kan?" tanya papa dengan sumringah. Ia menyodorkan kertas kepadaku. Aku tersenyum tipis. Memang bagus. Mirip banget. "Nih, kamu ambil aja yang ini," papa memberikan selembar kertas yang berisi gambaran papa dan Adam. Mereka kelihatan bersahabat banget. Kamu nggak akan percaya papa minta KTP Adam tadi pagi.

"Sepi nih," ucap papa. "Toko juga masih pada tutup," tambah mama, menunjuk beberapa toko yang memang harusnya siang-siang buka. "Kalian mau ngapain sekarang?" tanya papa. "Foto-foto yuk," ajak mama. Aku diam saja. Aku nggak suka difoto. Entah kenapa, aku selalu merasa wajahku minyakan dan berkeringat. "Eh ade mah, ayo ih foto," mama menarik lenganku untuk berdiri di sebelahnya. Papa mengeluarkan ponselnya, siap membidik. "Tunggu," aku mengeluarkan wadah bedak dari tasku dan berkaca. Setelah merapikan rambut, aku tersenyum kepada bayanganku dan menyimpannya kembali ke dalam tas. "Ayo ma," aku mengamit lengan mama dan tersenyum ke arah kamera. Setelah beberapa jepretan, mama menarik Adam untuk ikut berfoto. "Tarek, sini ih, ayo ikut!" ujar mama. Papa pun meminta tolong kepada salah satu pelukis untuk mengambil foto lalu bergabung bersama aku, mama, dan Adam
***

Karena Braga masih kosong, nggak ada hal lain yang bisa dikerjakan. Baru setengah jam kami di sini. Tapi gara-gara belum ada toko yang buka, rasanya kayak udah lima jam.

Mama nggak lagi berfoto. Sekarang mama duduk bersandar pada bahu papa di bangku. Mereka kelihatan bosan. "Belanja yuk," gumam mama. Papa nggak menjawab. Papa jarang belanja. Semua bajunya dibeliin mama, ponselnya juga bekas ponsel kakak. Belanja keperluan rumah pun jarang. Papa malas. Papa cuma semangat kalau mau beli mobil. Aneh ya?

"Ayolah, mama pengen belanja, udah lama mama nggak belanja," ucap mama sambil berpikir, kapan terakhir kali mama belanja. "Terakhir juga waktu lebaran haji tahun kemarin kan," ucap mama lagi. "Waktu minggu kemarin aku ajakin, mama nggak mau," aku mencibir. "Maunya baru sekarang," sahut mama. "Mal mah belum ada yang buka kali, nanti jam sepuluh ada juga," ujar papa. "Terus mau ngapain ih? Bosan," sahut mama. "Ya nggak tau," jawab papa.

"Mending ke Cibaduyut yuk, habis itu ke mal," ujar papa. "Ngapain ke Cibaduyut ih," dahiku mengerut. "Ya liat sepatu lah! Murah-murah!" sahut papa dengan semangat. Papa suka banget barang murah, apalagi gratisan.

Pernah aku minta beli makan ke papa. Waktu itu kami ada di sebuah toko hardware yang selalu mengadakan tester barang-barang yang mereka jual. Papa mengajakku berkeliling toko. Aku terus meminta dibelikan makanan kepada papa tapi papa terus mengajakku berkeliling. Akhirnya papa berhenti di tempat peralatan memasak. Waktu itu ada tester penggorengan. Mbak-mbak penjaga toko membuat semacam panekuk mini. Masa papa menyuruhku makan panekuk mini gratisan itu?

"Ayo ih, ke Cibaduyut!" ujar papa. "Ih, mending ke Pasar Baru aja! Ada baju juga," sahut mama. "Cibaduyut ih! Asli bikinan Bandung! Di Pasar Baru mah bikinan Cina!" sanggah papa. "Ih, nggak semuanya bikinan Cina, papa aja nggak tau!" aku balik menyanggah. Adam diam saja. Sepertinya dia benar-benar nggak ngerti Bandung.

Sebelum perdebatan kami selesai, ponsel papa berbunyi. "Halo," ucap papa. "Waalaikumsalam, iya, ini saya sendiri, Anda siapa ya?" tanya papa. "Ooh! Wahyu! Apa kabar?" suara papa berubah menjadi bersemangat. "Saya mah biasalah, gitu-gitu aja, kamu gimana, kegiatannya apa?" papa balik bertanya. Papa diam sebentar. "Oh ya itu sih pasti! Saya pasti ke sana ya! Nanti kita reuni ya!" ujar papa dengan bersemangat. "Iya, waalaikumsalam, sampai ketemu," papa menutup sambungan telepon. "Barusan temen papa waktu SMA, baru buka toko di Cibaduyut katanya!" jelas papa dengan semangat. Pasti papa bakal mengajak kami pergi ke Cibaduyut. "Ayo ke sana! Tokonya sebentar lagi buka. Katanya dua puluh pembeli pertama dapat potongan tujuh puluh persen!" tambah papa. Wajah mama berubah sumringah.

Mama paling suka barang diskonan. Waktu itu aku belanja berdua sama mama di sebuah mal di Jakarta, pas banget waktunya, Tahun Baru. Kami melewati toko Charles & Keith. Terus di depan toko itu ada tulisan 'discount up to 50%, end of season". Mama nggak biasa belanja di situ. Tapi gara-gara tulisan diskon itu, mama pun menyeretku masuk ke toko tersebut. Mama berhasil menemukan tas yang lumayan bagus yang harganya dipotong tiga puluh persen, tapi harganya masih terlalu mahal buatku. Aku sampai rebutan kartu kredit sama mama biar mama nggak jadi beli. Akhirnya mama tetap beli.

Sebenarnya kalau dipikirkan, aneh juga ya, aku sampai rebutan kartu kredit mama. Tapi aku melakukan itu soalnya aku tahu, pemikiran mama itu aneh. Misalnya mama melihat tas dengan harga dua juta tanpa label diskon, mama nggak akan beli. Tapi kalau mama melihat tas dengan harga dua juta dengan label diskon, bisa dipastikan mama pengen banget beli tas itu. Tapi setelah beli tas diskonan itu, biasanya mama bakal bilang "aduh, sayang ya uangnya," terus-terusan selama berhari-hari. Penyesalan itu selalu datang terlambat, guys.

"Ayo de, diskon ih, pasti harganya murah," ujar mama. Aku merapatkan bibirku. Aku nggak punya pilihan selain ikut. Adam sih ikut-ikut aja, dia lebih nggak punya pilihan dari pada aku.
***

The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang