Tiga Puluh Lima

42 3 0
                                    

"Ade!" teriak mama. Aku menggeliat di kasur, nggak peduli. Masih jam enam. Aku mendengar pintu kamarku dibuka. "De!" teriak kakak. Aku nggak menjawab. "Aleenaaaa!" teriak kakak lagi. "Bangun ih, mama berisik!" ujarnya. Aku tetap diam tak bergerak. Ia menarik selimutku. Aku pun bangun dan menyambar ujung selimut lalu menariknya. Kakak masih memegang ujung selimutku yang lain.

"Eh, mama panggil-panggil dari tadi malah rebutan selimut," ujar mama. Mama bersandar pada pintu kamarku dengan satu tangan memegang pesawat telepon nirkabel. Aku menjatuhkan ujung selimut. Kakak juga. "Ada telepon," ucap mama sambil memberikan pesawat telepon kepadaku.

"Halo," ucapku. "Lin, jadi pergi?" aku mengenali suara tersebut sebagai suara Adam. "Ngapain?" tanyaku dengan malas. "Nyari," jawab Adam, to the point. "Kamu sendiri aja," saranku. "Nggak mau, mati gaya," sahut Adam. "Nggak bisa ih, aku ada latihan kabaret jam setengah delapan dan aku malas," ucapku. "Setelah kamu selesai saya jemput," sahut Adam. "Udah ya, Lin, nanti saya jemput," janjinya tanpa menunggu persetujuan dariku. Ia pun memutuskan sambungan telepon.
***

Aku menonton teman-temanku yang lagi latihan sambil makan seblak. Aku sudah selesai latihan sejak lima belas menit yang lalu. Satu-satunya alasan aku tetap di sini adalah Adam yang bakal menjemputku. Aku nggak enak membatalkan janjiku. Padahal aku malas. Aku ingin pulang dan menonton. Dan padahal aku nggak berjanji sama sekali.

"Lin, kasih ide buat joget yang bagian dangdut lah!" teriak Luthfi dari ujung studio tiba-tiba. "Bukan pengamat dangdut," sahutku tegas. "Ayolah, Lin, kamu kan hebat," ujar Adrian. Padahal Adrian yang suka ngedangdut, bukan aku. "Lagi makan," aku menunjuk seblak di hadapaku. "Nggak peduli," sahut Luthfi. Ia berjalan melintasi studio menuju ke arahku, nyaris menabrak Mona yang lagi latihan. "Luthfi ih!" teriak Mona. "Mona ih, kamu meni gordes," sahut Luthfi santai. Gordes adalah singkatan dari gorowok desa. Gorowok artinya teriak. Jadi artinya secara bahasa adalah teriakan desa. Kalau secara istilah, artinya teriakan yang sangat keras.

"Ayo, Lin, let's joget!" ajak Luthfi sambil berjongkok di depanku lalu hendak mencomot seblakku dengan tangan. Aku memukul tangannya. Luthfi memelototiku. "Dasar jorok!" aku balas memelototi Luthfi. "Luthfi, mundur! Jangan ganggu Aleena, yang punya dateng!" teriak Mahar. Ia memasuki studio bersama Sela, Naura, Andika, dan Johan. "Oh Adam teh yang itu?" mata Naura melebar. "Mana ih?" semua cewek langsung bubar dari formasi, berebut keluar dari studio.

"Hei hei! Kalian belum selesai latihan!" teriak teh Mitha, salah satu pelatih kabaret kelas kami. "Atuh teh Mitha! Pengen liat ih, ganteng banget orangnya kata Mahar!" ujar Mona. "Mahar!" panggil kang Adi, pelatih yang lain. "Siap, Kang!" sahut Mahar. "Kamu gay?" tanya kang Adi. "Siap, bukan!" sahut Mahar. Kelihatannya dia agak tersinggung. "Kalian dengar? Mahar bukan gay, jadi dia nggak tau cowok ganteng itu kayak gimana," ujar kang Adi. Semua cewek kelihatan kecewa. Mereka berjalan pelan, kembali ke formasi. Sementara itu, Naura terus koar-koar gimana gantengnya Adam, setinggi apa dia, sekeren apa dia, mobil apa yang dia bawa, dan sebagainya. Mona menimpuknya gara-gara kesal.

"Kang Adi! Kata Naura Adam ganteng!" teriak Mona. Kang Adi malah menyuruhnya kembali ke formasi sambil memelototinya. Teh Mitha ketawa. "Suruh masuk aja atuh, orangnya," ujar teh Mitha. Kang Adi mengangguk, menyetujui. "Aing suruh masuk ya," ujar Mahar. Ia berjalan keluar dari studio.

"Aleena ih sumpah, dia ganteng banget!" ujar Naura sambil berjalan mendekatiku. Sela mengekori Naura. Ia menatapku dengan pandangan minta maaf. "Aku nggak ngerti gimana caranya kamu bisa nggak suka sama dia, baik banget lagi, ngejemput kamu," tambah Naura. Aku nggak menjawabnya.

The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang