Enam Belas

39 4 0
                                    

"Oh iya? Ketemu di bus?" tanyaku. Aku bicara dengan Adam di telepon. "Iya, dia tinggal di Dago kayaknya, soalnya saya ketemu dia di bus Dago," sahut Adam. "Kira-kira kamu kenal nggak?" tanya Adam, bego. "Nggak tahu ya, Dago kan luas," jawabku.

"Oh iya, kamu tau si cowok itu tinggal di mana?" tanya Adam. "Nggak tau, Dam, masa baru ketemu udah nanyain alamat," jawabku. "Terus pernah nggak, pengen nyari dia banget?" tanya Adam. "Iya banget, sampe sekarang, pengen ketemu lagi gitu," jawabku. "Pasti kamu juga kan?" tanyaku. Aku mendengar Adam tertawa gugup. Hening selama beberapa saat.

"Dam, nyari yuk," ujarku. "Nyari apa, Lin?" tanya Adam. "Kita cari mereka, orang-orang itu," jawabku. "Bisa gitu? Bandung kan luas, Lin!" sahut Adam pesimis. "Bisa kali!" aku berseru. "Di Bandung itu ada lebih dari dua juta orang!" Adam balas berseru. "Kamu bilang kamu pengen ketemu dia lagi? Kalau beneran pengen ketemu, perjuangkan dong!" aku berteriak. "Nggak usah teriak, Lin!" Adam balas berteriak.

"Dam, beneran ih, ayo kita cari mereka," ujarku. "Kamu ada ide?" tanya Adam. "Ada sih, tapi agak susah juga," jawabku. "Suatu keajaiban kalau hal-hal yang bakal kita lakuin gampang, ada lebih dari tujuh miliar orang di Bumi, dan ada lebih dari dua juta orang di Bandung, kita nyari mereka di antara banyak orang lain. Bagaikan mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Kalau beneran mau ya, kita harus usaha, Lin," ujar Adam. "Gitu dong, Dam! Itu baru namanya semangat!"
***

Aku janjian untuk ketemu Adam di Balai Kota. Aku meyakinkan Adam agar tidak membawa mobilnya. Kebayang kan, kalau aku naik mobil dia, kebayang gimana repotnya papa dan mama menceramahiku. Mereka pasti takut aku kenapa-napa.

Aku diantar mama dan papa. Mama sibuk menceramahiku soal pentingnya kehati-hatian. "Apalagi kamu baru kenal Adam kan, kamu nggak tahu dia kayak gimana," ucap mama. Seperti biasa, papa diam saja. Tapi aku tahu, pasti papa ingin mengucapkan hal-hal yang diucapkan mama.

"Cari dulu gih, nanti balik lagi ke sini, ajak Adamnya juga!" perintah papa. Aku turun dari mobil, meninggalkan tas sebagai jaminan bahwa aku akan kembali ke mobil. Ternyata Adam berdiri tidak jauh dari tempat papa menurunkanku. "Adam!" panggilku. Ia menoleh. "Eh, Lin!" ia berjalan mendekatiku. "Kamu nggak bawa tas?" tanya Adam. "Ada di mobil, ayo ketemu papa mamaku dulu," ajakku. Adam mengikutiku.

Aku mengetuk kaca mobil. Mama menurunkan kaca. Adam menyalami papa dan mama. "Mau kemana?" tanya papa tanpa basa-basi. "Sekarang mah mau ke daerah alun-alun dulu, Pa," jawabku. "Umur kamu berapa?" tanya papa kepada Adam. "Tujuh belas, pak," jawab Adam. "Boleh liat KTP?" tanya papa. Aku menepuk jidatku. Repotnya. "Ngapain ih, papa!" aku berseru. Tapi Adam mengeluarkan dompetnya dan memberikan KTPnya. Papa mencocokkan seluruh isi KTP tersebut dengan Adam. Kayak polisi.

Saat papa hendak mengembalikan KTP Adam, mama menyambar KTPnya. "Gimana kalau saya tahan KTP kamu sampai kamu antar Aleena pulang?" tanya mama. Aku melongo. Adam juga. Segini repotnya kah? Buat apa coba? "Maa!" aku berseru. Mama nggak menghiraukanku. Mama terus menatap Adam. "Mending bapak sama ibu ikut kami aja," aku tambah melongo. Jangan ih! Ngapain? "Nanti kalian keganggu," sahut mama. "Bukan jadi jalan bareng-bareng, tapi ngikutin kami dari belakang, jadi kami nggak keganggu, om sama tante bisa terus memantau , terus kalau mau pindah tempat, pasti ngajak om sama tante kok, kita nggak bakal kepisah," janji Adam. Ngapain sih? Repot! Kemarin aja, aku dianter Mahar, mama malah biasa aja. Mama menatap papa, meminta persetujuan. "Ayo," sahut papa. Aku memutar mataku. "Mobilnya parkir di sini aja, nanti kita kelilingnya pakai kendaraan umum," ucap Adam. Papa mengangguk dan memarkir mobilnya.

The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang