Dua Puluh Tiga

39 5 0
                                    

"Sela!" teriakku. Sela menoleh. Wajahnya kusut. Kelihatannya ia begadang semalaman. Aku berlari mendekatinya. "Kamu kenapa?" tanyaku. Sela menggeleng sambil mengamit lenganku.

"Aku bekal pancake. Kamu mau?" tanyaku. Sela menggeleng. Padahal biasanya Sela paling semangat soal pancake. "Kenapa kamu lemes gini sih?" tanyaku sambil mengguncang Sela. Ia tetap diam. "Kamu udah sarapan?" tanyaku. Sela bergeming. "Kamu udah ngerjain PR Biologi?" tanyaku. Sela diam saja. Aku heran, padahal kemarin dia normal-normal saja!

"Halo!" teriak Mona. Sela melewatinya. Menatap pun nggak. Sela langsung duduk lalu menempelkan sisi kepalanya pada meja. "Kamu kenapa?!" teriak Mona. Sela bergeming. "Aleena, Sela kenapa?" tanya Mona. Aku mengangkat bahu lalu duduk di sebelah Sela.

"Sela, papaku pulang dari Kanada, bawa sirup maple, kamu mau?" tanyaku. Sela diam. "Kalau dolar Kanada kamu mau?" tanyaku. "Aku mau!" teriak Lula. Sementara itu Sela diam saja. "Aleena, aku mau dolar Kanada," Lula sudah berdiri di sebelahku sekarang. "Nggak ada!" aku berteriak kepada Lula. "Ih, tadi kamu nawarin ke Sela!" gerutu Lula. "Nanya doang ih," aku memelototi Lula. Lula nyengir lalu berjalan kembali ke kursinya.

"Lin, ngerjain Biologi?" tanya Leila. "Tinggal nomer 3," jawabku. "Liat dong," ujarnya sambil sesekali melirik Sela. "Sela, kamu kenapa?" tanya Leila. "Sela sakit?" tanya Leila lagi. Sela tetap diam. Ia hanya mengetukkan jemarinya pada meja.

Rombongan cowok masuk ke kelas. Entah kenapa mereka semua selalu datang bersamaan. Kelas mendadak ribut.

"Naha meni asa sepi?" ujar Mahar. Terjemahan: kenapa terasa sepi. "Itu si Mona lagi diem," sahut Luthfi. "Nggak ada yang bisa aku gangguin," ujar Mona. "Si Mona biasa gangguin siapa gitu?" tanya Mahar. "Si Sela," sahut Mona sendiri. "Ini ada si Sela!" Mahar berseru. "Karunya ari maneh! Tingali!" Mona menunjuk Sela.

"Sela kenapa?" tanya Andika kepadaku. Teman-temannya menyemut di sekitar mejaku. Aku mengangkat bahu. "Sela," Johan mengguncang bahu Sela. Sela menepis tangan Johan. Satu per satu, anak cowok meninggalkan mejaku. Kecuali Adrian. Ia berlutut di sebelah Sela. "Sela," ia menepuk pipi Sela. Sela menepisnya. "Sela kamu kenapa?" tanya Adrian. "Pergi," gumam Sela. Sebelum Adrian sempat membuka mulutnya lagi, Sela berteriak, "pergi!"
***

"Aleena Safaa!" panggil bu Rosita. Aku maju ke depan untuk mengambil hasil ulangan. "Bagus, tingkatkan," ucapnya, disertai senyuman. "Ramona Catlina!" panggil bu Rosita lagi. "Pas-pasan," komentarnya masam. "Muhammad Raul!" panggil bu Rosita. "Meningkat," komentarnya."Marseila Amanda!" panggil bu Rosita. Aku menyikut Sela untuk maju ke depan. Sela maju dengan wajah kusutnya. Bu Rosita mengatupkan mulutnya. Beliau menutuskan untuk tidak mengomentari Sela gara-gara wajah kusutnya. "Yogas Fauzi!" panggil bu Rosita. Sela kembali duduk dan menempelkan pipinya pada meja. Wajahnya kelihatan lebih kusut. "Berapa?" tanyaku. Sela menghempaskan kertasnya ke pangkuanku. Sangat jelek. Sangat bukan Sela. Tiga puluh lima. Aku memberinya tatapan simpatik.

Bel isoma berbunyi. Bu Rosita meminta kami beristirahat lalu pergi keluar kelas. "Kamu sholat, Sel?" tanyaku. Sela menggeleng. "Siapa yang lagi dapet?" tanyaku. Semuanya mengacungkan tangan. Nggak disangka, kami datang bulan pada tanggal yang sama. "Mau jajan?" Sela menggeleng lagi. "Aku jajan ya?" Sela mengangguk. Aku pun bergabung dengan rombongan yang hendak pergi ke kantin.

***

Sela selalu memakan apa pun dengan mayonnaise yang harus dibentuk seperti namanya, Marseila, selalu. Aku dan teman-teman sepakat untuk udunan nasi goreng untuk Sela.Tidak lupa juga meminta Bibi Kantin untuk menulis Marseila dengan mayonnaise.

The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang