Dua Puluh Satu

57 5 0
                                    

Seperti biasa, pak Jono masuk kelas, memberi tugas, lalu keluar lagi. "Apa pulak ini?!" teriak Yoga dengan logat Batak buatan. "Lin, kamu ngerti nggak?" Sela menjawil pundakku. Aku menopangkan dagu pada kedua telapak, mencoba mencerna soal. "Oy," lagi-lagi Sela menjawil pundakku. "Ngerti nggak?" tanya Sela. Aku menggeleng lemah. "Tanya Luthfi coba," gumamku. "Luthfi!" teriak Sela. "Nggak ngerti, astaga!" Luthfi memelototi Sela. Sepertinya ia sudah ditanyai beberapa kali.

Sementara itu, Raul meneriakkan jawaban-jawabannya. Yang sudah pasti salah. Ia hanya menyebutkan angka secara acak, tanpa rumus tertentu. Sabrina mengeluarkan pocketbook fisikanya, mencocokkan teori dan soal. Selanjutnya, Sabrina kelihatan sangat marah. Mungkin ia tidak menemukan kecocokkan. Naura merekam dirinya yang sedang mengeluh. Mahar pergi ke kantin. Cowok-cowok lain memilih main gaple. Nggak ada yang bisa diandalkan.

"Satu-satuu, daun-dauun berguguran, tinggalkan taangkainya. Satu-satuu, burung keciil beterbangan tinggalkan saarangnya. Jauhh, tinggii, keee langiiiit yaaang biruu," Sela tiba-tiba bernyanyi. "Andaikaaaan aku punya sayaaaap!" aku ikut bernyanyi. "Ku 'kan terbang jauhhh mengelilingi angkasaa!" Naura ikut bernyanyi sambil terus merekam dirinya dengan ponsel. "'Kan ku aaajak ayah bundakuu," cowok-cowok ikut bernyanyi sambil main gaple. "Melihat indahnyaa duniaaaa," sisanya mengikuti. "Hei! Kenapa malah nyanyi?!" pintu kelas dibuka lalu terbanting dengan suara keras. Ternyata pak Wijaya. "Pelajaran siapa ini?" tanya pak Wijaya. "Pelajaran pak Jono," sahut Johan. "Nggak dikasih tugas? Kerjakan tugas kalian, nggak usah nyanyi! Ganggu kelas lain saja!" pak Wijaya berseru lalu menutup pintu lagi dengan suara keras.

Tidak berselang lama, aku mendengar pak Wijaya berteriak lagi. "Sekarang jam berapa?!" teriaknya. Terdengar suara Mahar yang menjawab, "maaf pak, saya kurang tahu, kan bapak pakai arloji, lihat aja arloji bapak," dengan polos. Bego. "Tapi kamu tahu kan, sekarang belum jam istirahat?" tanya pak Wijaya. "Tahu pak," jawab Mahar. Sungguh bego. "Kenapa kamu malah jajan?" tanya pak Wijaya lagi. "Tadi saya ketemu guru di kantin, Pak, kenapa murid nggak boleh jajan sedangkan guru boleh?" Mahar terbego. "Siapa nama kamu?!" tanya pak Wijaya, setengah menyentak. "Mahardika, Pak, X MIPA 1," jawab Mahar. "Masuk kelas!" perintah pak Wijaya. Mahar pun masuk kelas sambil membawa dua mangkuk batagor kuah. Ia masih bisa cengar-cengir setelah menghadapi pak Wijaya tadi. Dasar orang bego.
***

"Gimana, nih," Raisa mengetukkan jarinya di atas meja. Kami sudah berembuk. Tapi belum juga ada penyelesaian. Kecuali Raul. Ia masih mengarang angka.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku mengeceknya. Ada telepon dari Adam. "Halo?" ucapku, agak bingung. "Halo bu? Aku Fahira," sahut suara itu. Suara perempuan, bukan Adam. "Siapa?" tanyaku. "Fahira, pakai ponsel teman," sahutnya dengan nada tidak sabar. "Ini bu Jenny kan?" tanya orang itu lagi. "Bukan, ini Aleena!" sahutku, setengah kesal. Aku mendengar teman-temannya mengeluh. "Salah sambung!" teriak salah satunya.

"Aleena maaf salah sambung!" terdengar suara Adam. Aku nyengir. "Iya, gapapa, kenapa emang? Mau nelepon tutor ya?" tanyaku. "Iya, tutor kimia," sahut Adam. "Eh, seinget saya kamu pinter kimia!" ujar Adam. "Iya, Aleena pinter kimia!" teriak Mona di kupingku. "Nggak boleh nguping, Mona, nggak sopan!" teriakku. "Bantuin ya, Lin. Nggak ngerti ini!" ujar Adam. "Iya, tapi harus ada yang bantuin kita ngerjain fisika!" sahutku. "Iya betul!" teriak Mona lagi. "Nggak boleh nguping!" teriakku.

"Woy, ini temennya si Adam mau bantuin kita ngerjain kimia, tapi harus ada yang bantuin fisikanya mereka!" teriak seseorang. Terdengar suara keluhan di telepon. "Gimana, Lin? Mereka mau bantuin kita?" tanya Andika yang diam-diam menguping. Aku mengaktifkan loudspeaker. "Gimana woy?!" teriak Andika. "Adam bisa ngerjain fisika!" teriak seseorang. "Nggak bisa, bego!" suara Adam menyahut.

"Ada jenius kelas kita, dia bisa ngerjain apa pun, tapi dijamin kalian nggak akan ngerti," ucap suara Fahira. "Gapapalah, asal beres!" teriak Johan. Mereka pun memanggil seseorang. "Ngomong, Ki!" ujar seseorang. "Halo, ini siapa?" mendadak Luthfi, Andika, Andre, Yoga, Adrian dan Farrel ketawa. "Ini mekdi!" teriak Luthfi. "Ini ayam yang ngomong!" teriak Farrel. "Diem ih kalian!" Naura memelototi mereka.

"Bantuin kita ngerjain fisika ya," ujar Ilham. Orang itu mengiyakan. Aku pun membacakan soal nomor satu. "Jawabannya tiga puluh enam," ujar suara itu. "Rumusnya gimana?" tanya Raisa. "Nomor selanjutnya silahkan!" ucap suara itu, nggak menghiraukan Raisa. "Rumusnya apa?" tanya Sabrina. "Pokoknya jawabannya tiga puluh enam!" sahut suara itu, ngotot. "Iya, tapi caranya gimana?" tanya Adrian, menahan kesabarannya. "Jangan tanya, aku nggak bisa jelasin. Langsung nomer dua aja," sahut suara itu. "Coba jelasin dulu," pinta Salwa. "Kan enam dibalik, terus...," kami mengerutkan kening, mendengar penjelasannya. "Pokoknya jawabannya tiga puluh enam!" suara Adam memotong penjelasan si jenius. "Kaget saya," ujar Nadhif dengan logat Jawa buatan.
***
"Terakhir nih, tolong ya?" ucap seseorang. Aku mengiyakan. Ia membacakan soalnya. "Kalau itu, pertamanya pake rumus mol dulu, habis itu bandingin," ucapku. "Sama setiap zatnya?" tanga seseorang. "Iya," jawabku. "Makasih yaaa Aleena!" teriak seorang cewek beberapa saat kemudian. "Makasih semuanya, kalian luar biasa!" teriak mereka, diselingi berbagai teriakan lainnya. "Beneran makasih ini mah ya!" teriak cewek yang lain. "Iya, kapan-kapan kita telponan lagi ya!" Mona balas berteriak.

"Nanti traktir aing batagor ya!" teriak Luthfi. "Aing pengen jus jeruk!" teriak Mahar. "Kapan-kapan kita ketemu ya!" teriak Andre. "Saranghaeyo!" Johan mulai menyanyikan lagunya Sule. Nggak nyambung ih. Jol. "Aku cinta padamu!" teriak semua orang kecuali aku. "Aku cinta padamu juga!" teriak Yoga. "Saranghaeyo!" ucap Johan lagi. "Abdi bogoh ka salira!" sahut orang-orang di telepon.

"Bila bunga di taman tidak kehujanan," Naura memulai lagu. "Itu layu, itu layu!" sahut semuanya. "I don't believe all this happen to me, baby!" Farrel menyanyi dengan suara yang pas. "Aku tidak percaya!" sahut semuanya. "I don't believe all this happen to me, baby!" teriak Mahar. "I can't believe! Teu percanten!" teriak semuanya. Aku diam saja, mengamati. Aku nggak tahu lagu ini. Aku ingin ketawa.

"Saranghaeyo!" teriak orang-orang di telepon. "Aku cinta padamu!" sahut kami. Aku tahu liriknya gara-gara Johan menyanyi tadi. "Saranghaeyo!" teriak suara seorang cowok. "Aku sayang padamu!" sahut Mona. "Saranghaeyo!" teriakku. "Abdi bogoh ka salira!" teriak seseorang di telepon. "Saranghaeyo!" teriak seseorang. "Hei! Ada apa ini? Sudah saya bilang, belajar, bukannya nyanyi!" semua orang mendadak diam. Aku menelan ludah dan menoleh ke arah pintu. Pak Wijaya berdiri di sana. Beliau benar-benar marah.
***

Begitulah. Satu panggilan telepon yang salah sambung membuat kami bekerja sama dengan orang tak dikenal. Siapa bilang kita tidak boleh bicara dengan orang asing? Cukup berhati-hati.

***

��p��nO

The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang