Delapan Belas

29 6 3
                                    

Kami berlari sekuat tenaga ke arah kasir. Aku membawa dua kotak sepatu, mama membawa tiga kotak, papa membawa lima kotak, dan Adam membawa satu kotak.

"Selanjutnya adalah pelanggan ke dua puluh!" teriak penjaga kasir dengan semangat. Kami berlari, mendorong, menyikut, dan tersandung. Tapi akhirnya kami sampai di kasir. Papa mengacungkan kartu kreditnya di depan penjaga toko sambil tersenyum penuh kemenangan. "Anda adalah pelanggan ke dua puluh satu," ucap penjaga kasir sambil tersenyum. Senyum papa lenyap. Sakit hati.

Akhirnya hanya papa yang membeli sepatu. Papa hanya beli sepasang. Soalnya nggak ada diskon.

Setelah selesai, kami kembali ke Balai Kota untuk mengambil mobil, setelah itu kami akan pergi ke mal tempat nongkrong anak-anak hits. Adam nggak bawa mobil, jadi dia menumpang mobil kami.
***

Papa dan mama nggak lagi mengikuti kami. Mereka berjalan pelan di depan kami sambil saling mengamit lengan. "Perasaan mereka deh yang ngawasin kita," gumamku. "Gapapa kali, mungkin mereka lagi bernostalgia," jawab Adam. "Beli cotton candy yuk," aku menunjuk sebuah gerai cotton candy. Bukannya aku sok Inggris atau gimana, aku cuma nggak yakin bahasa Indonesianya cotton candy itu gulali, arum manis, atau apa. Aku dan Adam pun berjalan mendekati gerai tersebut. Asalnya aku mau bilang dulu sama mama dan papa. Tapi mereka kelihatannya sibuk.

Setelah membayar, aku dan Adam mengekori mama dan papa lagi sambil makan cotton candy sambil melihat ke segala arah, mencari. Seperti biasa.

"Aku ingin pretzel," gumamku. "Ma, ade ingin pretzel," aku menambah volume suaraku. Mama nggak menjawab. "Pa," panggilku. Papa juga nggak menoleh. Jadi aku menyerah. Mereka terlalu sibuk dengan satu sama lain. Aku pun kembali sibuk dengan mataku.

Secara naluriah, aku menoleh ke arah toko-toko favoritku. Biasanya aku ngode ke mama, minta dibeliin sesuatu. Tapi kayaknya sekarang nggak bisa. Mama lagi sibuk. Lalu aku melihat seseorang menenteng paperbag besar berlabel toko favoritku. "Dam, itu ih liat, mantap tentengannya," aku menyenggol Adam pelan, takut dia jatuh lagi. Adam nggak menjawabku. Dia terus diam.

"Adam," panggilku. Aku melambaikan tangan di depan wajahnya. Adam tetap diam. "Adam," panggilku lagi sambil melambaikan tanganku di depan wajahnya. Adam menangkap tanganku. "Itu, Lin," gumam Adam. "Apaan, kenapa?" tanyaku. "Itu dia," jawab Adam, setengah berbisik. Aku mengikuti arah pandangan Adam. Ternyata ia memandangi cewek yang membawa paperbag besar itu. Aku menatap wajahnya, wajah oriental. Aku menatap rambutnya, coklat tua. Dan kelihatannya ia cukup tinggi untuk ukuran cewek. Mungkin memang benar cewek ini si dianya Adam. Tapi cewek itu sama sekali nggak kelihatan seperti anak OSIS. Ia kelihatan seperti good girl yang keren. Kau tahu lah ya, skater skirt selutut dan blus. Tipikal good girl banget. Tapi padanan bajunya kelihatan keren.

"Adam, panggil gih," ucapku. Adam tidak menjawabku. Lagi. "Adam ih, cepat!" desakku. Tapi ia tetap diam. Aku menatap wajahnya, setengah kesal. Adam masih menatap cewek itu. Cewek itu memergoki kami yang sedang memandanginya. Sialan. Bisa-bisa ia mengomeliku seperti cewek di bus waktu itu. Aku buru-buru memalingkan wajahku. Tapi Adam nggak berusaha untuk menyembunyikan pandangannya atau gimana. Adam malah tersenyum. Senyuman yang kelihatannya benar-benar tulus. Yang mengingatkanku akan si dia. Dan cewek itu membalas senyumannya. Ia semakin dekat. Aku memandang mereka bergantian. Cewek itu berjalan mendekati kami. Sepertinya cewek ini benar-benar si dianya Adam.

"Hai," gumam Adam. Masih sambil tersenyum. Cewek itu nggak menjawab. Tapi bibirnya tetap tersenyum. Mereka saling berpandangan dalam waktu yang cukup lama. Aku tambah yakin. "Aleena, Adam! Ayo!" aku menoleh ke asal suara. Papa meneriaki kami. Aku tahu, papa nggak bisa menunggu kalau sudah meneriaki orang. "Ayo, Dam," ujarku pelan. Adam mengikutiku. Tapi matanya tak bisa lepas dari cewek itu. Lalu akhirnya dia berhenti menoleh ke belakang. Senyumannya hilang. Hanya sepotong kata 'hai'. Dan itu saja.
***

The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang