Dua Puluh Dua

43 4 0
                                    

"Katanya makanan kaki lima itu makanan terenak ya," ucap Adam. "Iya emang," sahutku. "Tapi kan nggak boleh jualan di pinggir jalan, Lin, kalau kita beli, nanti kita kena denda sejuta," ucap Adam lagi. "Belinya cuma berapa tapi dendanya sejuta," gumamnya. "Makan dimana dong, kita?" tanya Adam. Aku mengambil dompet di tas lalu menghitung uang yang kubawa. Setelah aku yakin uangnya cukup, aku mengarahkan Adam ke sebuah restoran Korea kesukaan papa.
***

"Kamu suka baca?" tanyaku. "Sedikit," jawab Adam. "Bukunya Sydney Sheldon, terus Sherlock Holmes, terus bukunya Edgar Allan Poe, dan bukunya John Grisham," jelasnya. "Saya juga suka To Kill a Mockingbird," aku merapatkan bibir. Berat ya, bacaannya Adam. "Kamu?" tanya Adam. "Macam-macam sih, Pride and Prejudice, Mary Poppins..," aku berhenti bicara untuk memikirkan novel lain. "Mary Poppins? Pengasuh terbang itu?" tanya Adam. Aku mengangguk. "Iqlima suka, saya disuruh bacain buku itu dulu," ucap Adam. "Iqlima siapa?" tanyaku. "Adik saya," jawab Adam. "Oh punya adik?" tanyaku dengan nada terkejut. Adam mengangguk. "Dia suka nonton film Mary Poppins juga, lucu katanya," aku juga suka film itu. Menurutku film itu adalah film anak-anak terbaik sepanjang masa. "Rame tau, dulu waktu kecil aku nangis yang waktu bagian dipaksa nabung tuppence, takut ih," sahutku. "Oh iya? Si Iqlima juga nangis!" Adam ketawa. Aku tersenyum.

"Aku suka Sherlock Holmes, Harry Potter, Percy Jackson, John Green," Adam mengangkat alis saat aku menyebut John Green. "Semua cewek suka bukunya John Green!" aku membela diri. Adam mengangguk sambil tersenyum. "Iqlima juga suka, lalu suatu hari dia beli buku yang judulnya ada Alaska-Alaskanya," ucap Adam. "Looking for Alaska," aku menyela. "Iya, itu, terus besoknya dia datang ke kamar saya, dia bilang, 'kak, buku ini buat kakak, terserah mau diapain, pokoknya kakak ambil aja' katanya gitu," Adam melanjutkan. "Kamu baca?" aku mengulum senyum. "Iya, saya baca, terus saya langsung ngumpetin buku itu," aku tertawa. Aku mengerti benar mengapa. Beberapa orang mungkin akan bersikap biasa saja, tapi aku bukan orang seperti itu. Tapi kalau kamu penasaran, silahkan beli sendiri bukunya.

"Suka penulis Indonesia?" tanyaku. Adam mengangkat bahu. "Saya nggak tahu yang mana yang bagus, jadi saya nggak beli bukunya," jawab Adam. "Bukunya Dee bagus kok, Tere Liye juga, apa lagi yang Negeri Para Bedebah, keren banget," ucapku. "Dilan, pasti kamu suka Dilan," tebak Adam. Aku langsung tersenyum begitu mendengar nama Dilan. "Iqlima juga suka, dia begadang demi ngeberesin baca Dilan," Adam memutar matanya. "Ih rame tau!" aku membela Dilan. Ya, aku membelamu, Dilan!! "Justru ya, kalau cowok ingin dicintai, ikutin Dilan," ujarku dengan semangat. "Ikut geng motor?" tanya Adam. "Ihh bukan git-..," aku menghentikan omonganku, aku menyadari keganjilan. "Kok kamu bisa tau Dilan ikut geng motor?" tanyaku. Rahang Adam mengeras. "Saya baca," gumamnya pelan. "Apa?" tanyaku, pura-pura tak mendengar. "Saya baca," sahut Adam dengan suara lebih keras. "Baca apa?" tanyaku. "Saya baca Dilan!" Adam berseru. Pelanggan yang lain menoleh ke arah kami gara-gara kaget. Aku tertawa. "Terus kamu baper?" tanyaku. Adam mengeluarkan dompetnya lalu mengeluarkan secarik kertas dan memberikannya kepadaku. Ada tulisan tangan yang rapi di atasnya.

Cara menarik cewek cara Dilan:
1. Jadi ganteng
2. Ngerti cewek
3. Pinter
4. Keren
5. Pinter ngelawak

Cara menarik cewek menurut Milea:
1. Baca cara menarik cewek cara Dilan
2. Jangan bikin khawatir
3. Jangan kasar

"Iqlima yang nulis," ucap Adam. "Kamu bawa di dompet?" tanyaku. "Iqlima yang nyimpen di situ, kata dia, saya harus inget setiap kata yang ada di situ setiap ketemu cewek," jawab Adam. "Kamu nurut aja lagi!" aku ketawa. Ia ikut tertawa. "Itu cara dia sayang sama saya," sahut Adam. Aku tersenyum. Aku juga punya cara sendiri menyayangi kakak. Contohnya... apa ya... nggak tahu deh.

"Dilan itu cerita nyata lho!" ujarku tiba-tiba. "Oh iya?" tanya Adam. Aku mengiyakan. Aku mengikuti acara Ngomongin Dilan Bareng Pidi Baiq di suatu SMA. Dan aku benar-benar nggak percaya bahwa Dilan adalah kisah nyata. Aku nggak percaya ada cowok kayak gitu. "Tapi gara-gara Dilan, cowok jenis lain, kayak saya nih, susah dapet cewek, sekarang semua cewek pengen punya cowok kayak Dilan!" Adam berujar. "Nggak semua," aku mencibir. Buktinya teman-temanku suka Adam.

"Oh iya, saya penasaran, Lin, cowok itu kayak gimana sih, keliatannya kaya bad boy atau gimana?" tanya Adam. "Nggak tau ya, tapi dia kaya selengean gitu!" jawabku. "Selengean tuh apa?" tanya Adam. "Semacam ngaco gitu orangnya," sahutku. "Kalau dibanding saya gimana?" tanya Adam. Aku berpikir. Kayaknya nggak deh ya, kelihatannya Adam tuh tipe talk less do more sedangkan cowok itu kelihatannya kayak talk less do less. "Kayaknya sih beda banget ya, tapi nggak tau, kan aku baru ketemu dia sekali," jawabku. Atau malah tiga kali ya? Atau empat?

"Ada boy crush yang baru, hayo," ucapku, tiba-tiba kepikiran Dear Nathan. "Pasti tipenya nggak jauh-jauh dari Dilan lah," sahut Adam. Aku baru saja membuka mulut untuk menyanggah, lalu aku sadar, Adam benar. Tapi Nathan merokok, aku nggak tahu apakah Dilan merokok atau nggak. "Sekarang mah boy crush ada trennya ya," ujarnya. Aku menangkap rasa muram di dalam suaranya, jadi aku hanya memakan kimchi sebagai jawaban.

"Lin," panggil Adam. Aku mendongak. "Gimana kalau ternyata dia sukanya tipe Dilan," gumam Adam. "Berarti dia bukan buat kamu," jawabku enteng. Adam terdiam. Dia marah gitu? "Aku tebak, kamu pengennya sama dia?" tanyaku. Adam nggak menjawab. Tapi aku tahu aku benar.

"Anggap ada tujuh milyar manusia di dunia, kemungkinan kamu bertemu dia cuma satu banding tujuh milyar, dan kamu udah ketemu dia lebih dari sekali, kamu anggap itu apa?" tanyaku. Adam masih memandangku penuh tanda tanya. "Itu namanya keberuntungan dan takdir," ucapku, tak sabar. "Pikirkan, betapa luar biasanya, out of other people, Tuhan memilih kamu untuk dipertemukan sama dia," tambahku. Adam nggak menjawab. "Kita bisa bertemu siapa saja, tapi nggak semua orang bisa kita temui, kita bisa memiliki apa saja tapi nggak semua hal bisa kita miliki, udah ada yang ngatur," aku melanjutkan. "Kamu boleh berharap, berusaha ketemu dia lagi, tapi kita nggak bisa berorientasi pada hasil, Dam. Kalau misalnya kamu ketemu dia dan ternyata dia suka sama kamu, syukurlah. Tapi kalau ternyata dia nggak suka sama kamu, let it be," Adam menatap sisa makanannya dengan muram. "Yang penting usahanya, oke?" Adam mengangguk. "Itu baru namanya semangat!" aku mengacungkan tinjuku. Adam tersenyum kecil.

"Oh ya, Lin, maaf ya, gara-gara saya nahan kepala kamu kemarin, kamu jadi harus ngeliat kejadian itu," ujar Adam. Maksudnya melihat si cowok bus dan ceweknya. Aku mengangguk kepada Adam sambil menepis gambaran kejadian itu dari kepalaku.

"Oh iya, Mahar ngasih tau temen-temen aku dijodohin sama kamu," gumamku dengan muram. Adam mengerutkan dahinya. "Bingung aja sih, kalau misalnya kita beneran nemuin mereka, terus kenalan, jalan bareng, dan saat udah saling suka, mereka taunya kita dijodohin, jadi segalanya batal," aku menambahkan. Adam mengangkat bahunya dengan santai. "Let it be, Lin, let it be."
***

҂+p='O

The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang