Tiga Puluh Empat

31 3 0
                                    

"Kenapa kamu nggak jalan sama Adam?" tanya papa. "Nggak kenapa-napa sih," jawabku dengan jujur. Rasanya there's no point to. Itu aja. Selain itu, Adam pergi ke Jakarta.

"Kalau kamu jalan sama Adam kan papa bisa santai di rumah," ucap papa. "Jadi papa nggak suka nganter ade?" tanyaku dengan jujur. Papa diam saja. Diam artinya iya. Papa menghentikan mobilnya di depan tempat les. Aku menyalami papa lalu turun.

Rasanya aku malas hari ini. Sangat malas. Bukan karena Adam pergi ke Jakarta dan absen les. Tolong jangan salah sangka. Aku hanya benar-benar malas. Kamu tahu, malas tanpa alasan.

Aku masuk ke kelas, mengambil tempat. Aku memakai earphones, mengaktifkan mode shuffle lalu menempelkan kepala di atas meja.
***

Sepertinya aku tidur tadi. Aku melihat jam. Masih lama sebelum les mulai. Aku memutuskan untuk bermalas-malasan dan mendengarkan sisa lagu. All for Love-nya Madison Beer dan Jack & Jack. Sekadar informasi, Jack Gillinsky tidak melakukan apa pun kecuali menjadi model di music videonya.

Seseorang menepuk bahuku berkali-kali dengan terburu-buru. Aku menekan tombol pause dan mengangkat kepala. Ternyata kak Adnan.

"Kamu sakit?" tanya kak Adnan. Aku menggeleng. "Kamu sedih?" ia menarik kursi di sebelahku. Aku menggeleng lagi. "Ah yang bener?" aku mengangguk. Aku ingin kak Adnan cepat-cepat pergi. Aku butuh waktu sendiri.

"Temenin yuk," ujar kak Adnan. Bukannya pergi! Aku mengerutkan alisku. "Kemana?" tanyaku datar. "Makan di RJ," jawab kak Adnan. Aku bergeming. Jawabnya gimana ya? Aku malas sebenernya. "Mau nggak?" kak Adnan, menagih jawabanku. "Hm... gimana ya," aku bergumam. "Males ya?" tanyakak Adnan. Nah. Pertanyaan retoris. Aku jadi nggak enak sendiri. "Kalau makan sama si itu nggak males ya," ucap kak Adnan dengan nada masam. Entah kenapa, aku merasa malu, panik, dan kaget. "Si anak B1," ujar kak Adnan dengan masam. Aku benar-benar bingung.

Kak Adnan berdiri untuk meninggalkan kelas. Ia berjalan cepat. Kenapa sih? Kayak orang PMS aja. Kalau kamu liat tampilan fisiknya, kamu nggak akan percaya bahwa seorang kak Adnan bisa se-PMS itu. Walau pun nggak mungkin dia bisa PMS. Karena, yah, dia kan cowok.

Beberapa saat kemudian, aku benar-benar nggak enak sama kak Adnan, mengingat dia adalah teman main sekaligus adik kelas favorit kakak. Walaupun sebenarnya aku kesal. Kesal banget. Maksudku, kenapa dia tiba-tiba marah, masam, kesal, atau apa pun itulah!

"Kak!" teriakku melalui jendela kelas. "Aku ikut deh!"
***

"Kamu nggak mau makan?" tanya kak Adnan. Aku menggeleng. "Yakin? Mupeng gitu," kak Adnan berusaha mencairkan suasana. Aku hanya menggeleng lagi.

"Lin, siapa sih yang waktu itu makan bareng kamu?" tanya kak Adnan. To the point banget ya orangnya. "Teman," jawabku singkat. "Teman bener? Kasih tau Akram nih," ucapnya sambil mengeluarkan ponsel dengan gaya mengancam. "Sok aja, mama sama papa aja tau aku main sama dia," sahutku, datar. Kak Adnan kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku.

"Kata Akram kamu udah ke apartemen ya?" aku mengangguk. "Kamu... udah baca surat?" aku mengangguk lagi. "Terus?" aku mengangkat bahu. Hening selama beberapa saat. Aku mengaduk minumanku tanpa selera. "Gimana?" tanya kak Adnan. "Gimana apanya?" aku balik bertanya. "Surat itu," jawab kak Adnan. "Oh, aku lupa disimpen di mana," sahutku. "Isinya?" tanya kak Adnan. "Ya nggak gimana-gimana," jawabku. "Kamu suka suratnya?" tanya kak Adnan. "Biasa aja," jawabku datar. Lalu kak Adnan kelihatan kesal. Aku nggak ngerti kemana arah percakapan ini! Kenapa sih, dia nggak membuat semuanya jelas! Apa aku suka suratnya? Yah, apakah surat perlu disukai? Kalau kamu berkorespondensi, apakah kamu suka suratnya? Menurutku, yang perlu dipermasalahkan adalah, apakah aku menyukai pengirimnya atau tidak, bukan suratnya.
***

"Gutten tag," ucap Frau Hera. "Gutten tag," kami menjawab. "Wie geht's euch?" Frau Hera menanyakan kabar kami. Macam-macam jawaban terdengar. Aku termasuk orang yang tidak menjawab. "Aleena, bist du krank?" tanya Frau Hera. Ia menanyakan apakah aku sakit. "Nein," jawabku, pendek. "Bist du müde?" tanya Frau Hera lagi. Ia menanyakan apakah aku lelah. "Nein, ich bin gut," jawabku dengan kesal. "Hast du Hunger?" tanya Frau Hera. Ia menanyakan apakah aku lapar. Aku benar-benar kesal. Kenapa Frau Hera selalu menanyaiku?! "Nein, ich bin gut, danke," jawabku, setengah kesal.

"Maaf kalau saya buat kamu kesal, tapi kamu kelihatan tidak bersemangat hari ini, kenapa?" tanya Frau Hera. Oh itu! Aku bisa membuat daftar hal-hal yang membuatku tidak bersemangat. Dimulai dari kak Adnan yang memaksaku mengantarnya makan dan membuat percakapan tanpa arti. "Saya kesal," jawabku dengan nada datar. "Baiklah, saya tidak akan ikut campur," gumam Frau Hera. Kemudian pelajaran kami dilanjutkan.

Nggak ada apa pun yang bisa masuk otakku sekarang ini. Entah aku sangat malas atau aku sangat bodoh. Atau dua-duanya. Astaga.
***

Mama bilang kakak akan menjemputku. Tapi ia belum juga datang. Seperti biasa. Tidak berguna.

Aleena Hakim: di mana?
Akram Hakim: main
Aleena Hakim: iih
Aleena Hakim: kata mama aku dijemput kakak
Akram Hakim: aku nyuruh Adnan nganterin kamu.
Aleena Hakim: aku nggak mau dianter dia!
Aleena Hakim: kenapa sih maksain banget, aku nggak mau pulang sama dia
Aleena Hakim: aku nggak suka dia
Akram Hakim: ya udh nggak usah pulang

Aku melempar ponselku ke lantai dengan kesal. Kenapa sih, kakak nggak ngerti juga? Aku mengusap wajahku dengan frustasi.

"Lin, kenapa kamu lempar-lempar?" tanya seseorang. Aku mendongak dengan kesal. Siap memarahi orang tersebut karena ingin mencampuri urusanku. Aku langsung membatalkan amarahku ketika mengetahui siapa yang menanyaiku tadi. Jujur saja, aku malah senang kalau ia mencampuri urusanku. Rasanya seperti.. ia memiliki rasa peduli.. kepadaku.

Adam memungut ponselku dan memberikannya kepadaku. "Kamu kan ke Jakarta!" aku berseru dengan nada memarahi. "Iya, tapi kan udah pulang, sampe Bandung langsung les!" sahut Adam, balik memarahi. Walau pun begitu, ia tetap duduk di sebelahku.

Aku menekan nomor mama. "Assalamualaikum, Ade dimana?" tanya mama. "Waalaikumsalam. Kakak nggak jemput aku, Ma, dia nyuruh kak Adnan nganterin aku, aku nggak mau," jawabku. "Loh kok gitu sih? Bagus de, jangan mau, nggak baik diantar sama orang nggak dikenal malem malem!" ujar mama dengan nada marah. "Kamu mau nunggu mama? Mama masih di Hussein tapi berangkat sekarang," aku mengiyakan lalu Mama memutus sambungan.

"Adnan tuh yang mana sih?" tanya Adam. "Ada, sekelas sama aku," jawabku datar. "Lin, ayo pulang!" aku menoleh. Kak Adnan. "Aku dijemput mama, kak," ucapku. "Oh ya udah," ia masuk ke mobilnya, membunyikan klakson dan pergi. "Itu kak Adnan," ucapku. "Oh," sahut Adam. "Sana pulang," gumamku. "Bahaya kalau cewek sendiri," sahut Adam. "Aku j-.."

"Jago kickboxing? Gitu aja sombong! Karate dong!" Adam memotong ucapanku lalu menepuk dadanya dengan bangga. Aku memutar mataku. "Kamu mau makan?" tanya Adam. Aku menggeleng, tak berselera. "Nanti makan ya," ucapnya. "Biar apa?" tanyaku. "Biar gendut, kalau di qurbanin mahal," sahut Adam. "Ih astaghfirullah kanibalisme!" aku berseru. "Hehehe bercanda ah!" sahutnya. Beberapa saat kemudian pak satpam bergabung dengan kami dan mengajak kami mengobrol.

"Pulang kapan, Neng?" tanya pak satpam. "Nunggu mama, pak, dari Hussein," jawabku. "Ari Ujang pulang kapan?" tanya pak satpam kepada Adam. "Nungguin dia dijemput dulu," jawab Adam, menunjukku. "Nggak apa-apa, Jang, masih banyak guru yang belum pulang, bapak juga nungguin si Eneng di jemput dulu, baru pulang," ucap pak satpam. "Biarinlah, gapapa saya tungguin aja," sahut Adam.

***



The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang