Lima Belas

46 6 0
                                    

"Kamu pulang sendiri?" tanya Sela. "Nggak ya, Lin, kamu pulang bareng aku," aku menoleh ke arah sumber suara. Mahar ternyata. Sampai sekarang dia terus kayak gitu. "Sendiri," sahutku, berusaha nggak menghiraukan Mahar. "Ah suka gitu deh, suka nggak ngakuin aku," ujar Mahar. Aku nggak menghiraukannya. "Aleenaaa gitu deh," Mahar terus menggangguku. Sela menyipitkan matanya kepada Mahar. "Tuh Lin, Sela ngegodain aku," ucap Mahar lagi. Sela beristighfar. "Kamu rela aku diambil sahabatmu?" tanya Mahar. "PERGI MAHAR!" teriakku. Mahar pun pergi.

"Heran deh sama anak satu itu," kata Sela sambil menutup risleting tasnya. "Dia suka kali, Lin," kata Sela lagi. "Ga tau ah," sahutku sambil menyandang tas. "Makasih yaa kalian yang udah piket, aku sayang kalian!" ujar Lula sambil menutup pintu kelas. "Aku nggak sayang kamu Lula!" teriak Mona. Matanya melotot. Lula menyuruhnya macam-macam tadi.

"Lin, pulang bareng aku lagi, yuk," ajak Mahar. Ia berjalan mengikutiku. Aku nggak menggubrisnya. "Ayolah Lin, wajib banget selfie sama Akram Hakim!" ujar Mahar, ia terus mengikutiku. "Ya, Lin? Yaa?" aku terus berusaha nggak menghiraukan Mahar.

"Hai Mahar!" ujar seseorang. "Jangan berani sapa aku, aku milik Aleena!" sahut Mahar. Saat itu aku kehilangan kesabaranku. Aku memutar badan dan mengambil ancang-ancang untuk menendang tulang keringnya. Tapi Sela menarikku menjauh. "Udah, Lin, biarin aja, nanti juga capek," ucap Sela. Ia merangkulku. Kami berjalan berdampingan menuju gerbang.

"Lin!" teriak Mahar. "Ke parkiran aja ih jangan ke gerbang!" teriaknya lagi. "Bukannya Mahar itu nggak punya SIM ya?" tanyaku kepada Sela. "Iya, dia kan baru enam belas," jawab Sela. "Bisa-bisanya ya, dia parkir di parkiran sekolah," gumamku.

"Lin ih, jangan gitu! Hayu pulang bareng aku," Mahar merecokiku lagi. Dia datang sambil bawa-bawa helm. "Nggak mau," sahutku sambil terus berjalan. "Kenapa Lin?" tanya Mahar. Tepat saat Mahar bilang gitu, aku melihat Adam berdiri tepat di luar gerbang. Loh kok? Kok loh?

"Kenapa Lin?" tanya Mahar. Aku nggak menggubrisnya. Aku berjalan menghampiri Adam, menyeret Sela bersamaku.

"Adam!" panggilku. "Eh Aleena!" ia kelihatan kaget. "Kamu sekolah di sini?" tanya Adam. "Iya, kenapa kamu di sini?" aku bertanya balik. "Temen saya mau ketemu pacarnya, mau anniversary katanya, tapi ga modal sih, jadi saya anter!" Adam menunjuk temannya yang berdiri nggak jauh dari dia. Temannya nyengir. "Oh," aku mangut-mangut.

"Oh iya, Dam, ini temenku, Sela," aku menunjuk Sela. Adam dan Sela bersalaman. "Aku nggak dikenalin Sel?" Mahar masih di sana. "Ini Mahar, pengganggu," gumamku. Tapi Mahar kayaknya nggak mendengar. Adam mengulurkan tangannya kepada Mahar. Mereka bersalaman. "Ini Zafran," aku bersalaman dengan temannya Adam. Kayaknya aku kenal Zafran deh. Dia pernah muncul di postnya siapaa gitu, anak sekolahku. Pasti pacarnya.

"Oh iya, Lin, pertanyaanku belum dijawab, kenapa kamu nggak mau pulang bareng aku?" tanya Mahar. Kenapa dia nggak ngerti sih! Aku nggak mau aja pulang bareng dia. Kalau nggak kepaksa, kayak kemarin, mendingan nggak. Lagian Mahar itu salah tangkap. Aku baik-baik ke dia kan soalnya aku ingin mambah teman, dianya malah gitu.

Saat aku mau membuka mulut, Sela menjawabnya untukku. "Mahar, kamu maunya apa? Aleena nggak ngerti. Lagian dia nggak bisa jalan sama kamu," ujar Sela. "Kenapa?" tanya Mahar. Sela gelagapan. "Soalnya... Aleena... hm...Adam...," Sela kelihatan berpikir keras. Adam mengernyit, menatapnya. "Adam kan tunangannya Aleena!" teriak Sela. Aku berjengit. "Apa?!" teriakku dan Adam bersamaan. "Dikira The Heirs!" teriakku. "Tapi kan... bukannya kalian... hm... dijodohin?" ucap Sela. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Oh. Aku mengerti. Ini cuma akal-akalannya saja. "Eh... hm... iya, tapi kan nggak harus tunangan sekarang juga," gumamku. Mulut Adam terbuka membentuk huruf o. Dia nggak ngerti kenapa kami tiba-tiba dijodohin. Aku juga nggak ngerti sebenernya.

"Iya kan, Adam?" tanya Sela. "I-iya sih, tapi bukannya... hm... jangan go public dulu ya?" tanya Adam. Ia kelihatan ragu-ragu. "Ini bukan go public ih, ini mah namanya klarifikasi," koreksi Sela. "Pokoknya gitu Mahar, makanya Aleena nggak mau sama kamu, dia cuma mau temenan aja sama kamu, jadi jangan geer lah ya," kata Sela ke Mahar. Aku takut Mahar kecewa, sakit hati, atau apa lah, aku takut dosa. Tapi yang ada cuma ekspresi malu. "Oh gitu, maaf ya, Lin," ucap Mahar. "Era ih aing!" ujarnya sambil tertawa gugup. Terjemahan: malu ih saya! "Maaf ya, Adam," ucapnya lagi sambil haha-hehe.

"Tapi, Dam, boleh nggak, Aleenanya aku anter pulang? Jadi kan ada alesan gitu, ketemu sama internet famous," tanya Mahar. "Nggak tau ya, kalau Aleenanya mau ya sok aja sih," sahut Adam. Sela menepuk jidatnya. Gagal deh. "Kamu mau nggak, Lin? Ayolah! Kapan lagi ketemu internet famous?" padahal Mahar sendiri juga internet famous. "Nggak mau, lagian kakakku lagi penelitian," sahutku, ngarang. "Oh iya? Penelitian apa?" tanya Mahar. Aku mikir. Tapi pikiranku buntu. Kepaksa deh. "Mengetahui apakah air sungai Cikapundung layak diminum," jawabku. Sela mengernyit, Zafran juga, Mahar terbelalak, Adam biasa saja. Kayaknya Adam nggak tahu apa-apa soal sungai Cikapundung. "Oh, boleh minta kontaknya nggak?" tanya Mahar suaranya terdengar santai, tapi mukanya menyatakan dia baru minum air sungai Cikapundung. Aku memberikan kontaknya. Mahar langsung cengar-cengir. "Yes! Internet famous squad!" ujarnya. Ia melambai lalu pergi. "Aneh," gumam Adam. "Emang," sahutku.

"Eh itu bundaku, Lin, aku duluan ya! Adam, Zafran," ujar Sela. Ia berjalan menjauh sambil melambai. Kami balas melambai. "Dam, maneh nyaan dijodohkeun?" tanya Zafran. Ia kelihatan kaget. Terjemahan: kamu beneran dijodohin? "Nggak," jawab Adam. "Iya," jawabku. "Eh, yang bener yang mana?" Zafran mengerutkan jidatnya. Aku diam sebentar. "Nggak tau," sahutku.

"Zafran! Kamu di sini!" teriak seseorang. Aku menoleh. Ternyata Marissa, anggota cheers kelas sepuluh yang paling diperhatikan. Zafran memberikan buket bunga yang ada di tangannya. "Iya Mar, aku di sini, demi kamu dan anniversary kita yang ketiga," sahut Zafran. Nggak banget kata-katanya. Oh ya, pasti aku melihat Zafran di postnya Marissa. "Makasih," Marissa senyum-senyum sendiri. "Eh, ini... pacar kamu, Lin?" tanya Marissa, menunjuk Adam. Adam menatapku, memberi isyarat untuk menjawab. "Hm.. gimana ya..," aku dan Adam saling mencuri pandang. "Alah, nggak usah pura-pura gitu deh," ujar Marissa. "Nanti juga orang-orang pada tau," ujarnya lagi. Aku cuma bisa haha-hehe.

"Mar, aku nggak bawa motor," ujar Zafran. "Tadi ke sini pake apa?" tanya Marissa. "Dianter Adam," Zafran menunjuk Adam. "Ah, biarin lah, kita pake angkot aja, kasihan mereka kalau kita ikut, keganggu," sahut Marissa. Kami saling melambai dan mereka pun pergi.

"Canggung gini ya," gumam Adam. "Maaf banget ih, aku nggak tahu kenapa si Sela tiba-tiba ngomong kayak gitu," ucapku. "Ya gapapa lah," sahut Adam. "Pacar baru, Lin?" ujar seseorang dengan nada menggoda. Aku menoleh. Teman-temanku lewat sambil bersuit-suit. Aku nggak menjawab mereka.

"Maaf," gumamku kepada Adam. "Cie, Aleena akhirnya punya pacar!" yang lain berseru. gerombolan berbeda lewat. Mereka juga bersuit-suit. "Maaf," gumamku lagi. "Akhirnya punya pacar?" tanya Adam. Dahinya mengerut. "Belum, bukan akhirnya punya," koreksiku. "Sekarang aku mau...," omonganku terputus. Bus jurusan Dago lewat tepat di depanku. Aku harus menunggu lima belas menit lagi. "Kenapa?" tanya Adam. "Itu, busnya udah lewat," gumamku, nyaris tanpa suara. Sakit hati. "Ya udah, saya tungguin sampai busnya datang lagi," ujar Adam. Ia bersandar pada kap mobilnya. "Pulang aja," kataku. "Gapapa," sahut Adam. "Bahaya kalau cewek sendirian."

***


The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang