Sembilan Belas

39 4 0
                                    

"Ayo, Lin, kamu wajib ajarin aku kimia," ucap Sela. Ia melemparkan buku kimianya ke meja lalu mendorongnya ke arahku. Aku menutupnya lalu menjadikannya topangan kepalaku. Sela menggeram lalu menggerutu. "Aku nggak ngerti apa-apa, Lin!" gerutunya lagi. Pak Salman, guru Kimia kami, memang jarang mengajar.

"Aleena kenapa?!" teriak Mona. "Iya ih meni diem terus," sahut Lula. "Iya ih, biasanya kamu suka riweuh tah," Leila ikut-ikutan. Padahal dia bohong. Aku nggak pernah riweuh.

Nggak berapa lama, hampir separuh populasi kelasku mengelilingi mejaku. Semuanya bertanya macam-macam. Tapi aku malas menjawab.

"Aleena," aku mendengar suara yang sangat aku kenal, suara yang paling kubenci minggu lalu. Aku berhenti membencinya karena dia berhenti merecokiku. Suaranya Mahar. "Aku chat sama kakak kamu hayo," sambungnya. "Nggak nanya," sahutku. "Kamu kenapa ih?" tanya Mahar. Aku nggak menjawab. "Kamu sakit ya?" tanya Mahar lagi. Aku nggak menjawab. Lula meraba keningku. "Panas nggak?" tanya Mahar. Lula menggeleng. "Kamu lagi sakit perut ya?" tanya Mahar. Aku menggeleng. "Pengen pup?" aku menggeleng. "Hm..," Mahar berpikir lagi. "PMS?" tebaknya. "Kurang ajar ih!" Mona berteriak. "Lin, kamu nggak denger? Kata Mahar kamu kena penyakit menular seksual!" teriak Mona lagi. "B-bukan itu ih!" Mahar menyela dengan panik. "Maksudnya pre-menstruation syndrom," tambahnya. "Oh," gumam Mona. Aku menggeleng. "Terus kenapa dong?" tanya Adin. Mahar menarik kursi di depanku dan duduk.

"Lin," panggilnya. "Kamu lagi jatuh cinta ya?" tanya Mahar. "Mahar geer," gumam seorang cowok, kedengaran seperti suara Raul. "Cicing sia!" teriak Mahar kepada Raul. Terjemahan: diam kamu! "Ai sia jol poporongos!" sahut Raul. Terjemahan: kamu tiba-tiba marah-marah. "Berisik!" Mona berteriak. "Sia nu ti heula!" Mahar menunjuk Raul. "Kalem, Mas," ujar Andika. Ia merangkul Mahar. Ia memanggil Mahar dengan sebutan mas, kependekan dari mas kawin. "Kunaon sih?" tanya Andika. "Teu," sahut Raul. Ia berjalan mendekati Mahar. Keduanya bersalaman.

"Kenapa pada ngerubung gini?" tanya Andika. "Ini, liatin gera si Aleena, asa watir ih," sahut Mahar. "Oh, itu mah aing tau kenapa," ujar Raul. "Aing juga tau atuh kaya gini mah, aing kan mengerti cewek," Johan nimbrung. "Mengerti cewek!" teriak Mona. "Ah kamu mah ngerti cewek tapi jomblo terus!" sanggah Adin. "Itu teh ngode pengen ditembak, Han!" ujar Raul sambil tertawa. Semua ikutan ketawa. Kecuali aku. Dan Johan dan Adin.

Keempat cowok itu menatapku dengan serius. "Kayaknya mah itu ya," ujar Raul. "Iya, itu," sahut Andika. Johan mengiyakan. Apa yang dimaksud dengan itu? "Lin, kita tau kamu kenapa," ujar Johan. Aku mengangkat kepalaku. "Pasti kamu lagi PMS," ujar Johan mantap. "Bukan!" teriak cewek-cewek dengan heboh. Raul, Johan, dan Andika merapatkan bibir. "Kenapa dong?" tanya Raul. "Jangan diem terus ih, watir ngeliatnya," ujar Andika.

"Aing tau ih!" teriak Mahar. Semua orang menatap Mahar. "Pasti..," sisa omongan Mahar teredam suara ketujuh cowok lain yang menghuni kelas kami. Mereka masuk kelas dengan suara ribut. Bau keringat mereka langsung menyebar ke seluruh ruangan. "Maraneh ih meni bau kieu!" Mahar menutup hidungnya. "Bae atuh, kan cewek makin cinta waktu cowoknya keringetan, iya nggak?" Farrel mengangkat sebelah alisnya kepada Naura. "Jijik," sahut Naura.

"Aleena kenapa?" tanya Andre. Dalam sekejap, bau keringat yang kuat langsung mengelilingiku. Aku menjepit hidung. "Iya ih, Aleena lemes dari pagi, kenapa?" tanya Luthfi. "Sakit perut?" tanya Yoga. "Pengen pup ya, Lin?" tanya Nadhif. Lagi-lagi itu. "Laper ya? Nggak punya uang? Terlilit hutang?" tanya Ilham. "Nggak ih, bukan, aing tau ini kenapa, aing kan mengerti cewek," ujar Adrian. "Nah, kalau Adrian mengerti cewek, aku percaya," ujar Adin. "Jangan gitu, Din, liatin itu si Johan mukanya langsung sedih gitu," ujar Salwa. "Apa sih?!" sahut Adin dengan nada kesal dan jijik. "Kembali ke topik, Aleena kenapa?" tanya Sabrina. "Lagi PMS!" teriak Adrian dengan percaya diri. "Bukan!" teriak semua cewek dengan heboh. Adrian menggaruk tengkuknya dengan bingung.

"Aleena ngomong satu kataaa aja," pinta Raisa. Aku diam saja. "Kamu belum ngomong dari pagi tau," ujar Sela. Iya gitu? Tapi aku nggak bertanya kepada Sela. Biarlah. Aku malas bicara. "Jujur, kenapa?" tanya Mahar. "Gara-gara Adam?" tanya Sela. Aku nggak menjawab. "Adam teh siapa?" tanya Raisa. "Orang yang dihodohin sama Aleena," jawab Mahar. Semua orang kelihatan kaget. "Aleena dijodohin?" tanya Ilham. "Ganteng nggak?" tanya Sabrina. "Tinggi?" tanya Adin. Matanya melebar. "Pinter nggak? Soleh?" tanya Salwa. Aku malas menjawab mereka. Aku diam saja. "Ganteng hayo, badannya bagus," Mahar mengacungkan jempolnya. "Tukang ngegym kayaknya," tambah Mahar. "Lebih tinggi dari aing," tambah Mahar. Semua cewek melongo. "Iih pengen liat!" ujar Raisa.

Sela melirikku. Aku meliriknya balik. Sial. Kebohongannya meluas. "Bukan masalah ganteng atau gimana ih, kalau mau cocok sama Aleena, orangnya harus banyak uang, kalau nggak harus bisa kerja keras," ujar Andre. Sotoy. "Eh, kalem, kita kan belum tau Aleena kenapa," Audrey menghentikkan semua pekikan cewek yang overexcited. "Iya ya," Leila merapatkan bibirnya. "Jadi kamu kenapa?" kalau disuruh jawab jujur sih ya, aku bakal jawab aku masih ingat kejadian kemarin. Cowok yang aku tungguin, yang ngajak aku nemenin dia keliling Bandung, udah ada yang punya. Tapi aku nggak mau bilang gitu ke teman-teman. Nanti jadi gosip.

"Aing tau kenapa ih, serius," ujar Mahar. Semua orang terdiam, menatap Mahar. "Biasanya kalau orang diem gini, nggak ngomong apa-apa, nggak mau makan..," ia diam sebentar, ragu-ragu. "Kenapa ih?" desak Adrian. "Biasanya lagi jatuh cinta," sambung Mahar. "Tapi kenapa kayak murung gini?" tanya Sabrina. "Biasanya..," Mahar berhenti lagi. "Kenapa ih!" kali ini Naura yang mendesak. Ia kelihatan gemas. "Biasanya ini sih jatuh cinta yang nggak bisa saling memiliki," ujar Mahar. "Patah hati?" tanya Raul. "Bukan, bego, hati mah nggak bisa patah, bisanya robek," jawab Andre. Nggak ada yang menghiraukan mereka.

"Bukannya kamu udah dijodohin?" tanya Raisa. "Jangan-jangan, kamu sukanya bukan sama Adam," gumam Mahar. Iya memang bukan. Mereka menepuk bahuku. "Jangan sedih, Lin, nanti kamu bisa cerai dari Adam terus nikah sama si pujaan hati," ujar Yoga. Aku nggak menjawab. Aku benci situasi ini. Situasi saat Mahar benar.

***


The Boy I MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang