Salah satu siswi saya di Bangkok sering mengikuti saya selama bertahun-tahun saat saya mengajar keliling Thailand. Ia adalah wartawati koran Bangkok Post. Alasan ia mengikuti saya ke mana-mana adalah untuk mendapatkan wawancara. Dalam suatu wawancara, ia bertanya mengenai pandangan Buddhis mengenai eutanasia atau praktik mencabut nyawa pasien yang sudah tak tertolong tanpa rasa sakit.
Saya berkata kepadanya, "Nah, mari kita ambil contoh konkret. Misalkan Ibu Anda telah koma selama berbulan-bulan di rumah sakit dan tak ada kemungkinan nyata untuk pulih, lalu seseorang bertanya kepada Anda, 'Apa sebaiknya kita matikan saja alat penyokong hidupnya?' Nah, sebagai Buddhis, apa yang seharusnya Anda lakukan jika itu yang menimpa ibu Anda?"
Ketika saya mengatakan hal ini, saya melihat rahang wartawati itu seperti mau copot, dan ia berseru, "Wow, Anda hebat sekali!" sebab ibunya memang berada dalam keadaan koma di rumah sakit, tersambung dengan alat penyokong kehidupan, dan sudah berada dalam keadaan demikian cukup lama. Jadi saya mengawali jawaban saya dengan begitu tepat.
Namun dari nasihat saya-yang paling penting untuk diketahui semua orang adalah: duduklah di samping ibu Anda atau siapa pun yang dekat dengan Anda dan berada dalam keadaan koma, peganglah tangannya, dan meskipun dalam keadaan itu, tanyakanlah apakah ia masih ada di sana, apakah ia ingin pergi atau tidak. Jika Anda cukup peka, Anda akan mengetahui banyak perbedaan antara orang yang hanya berupa jenazah yang Bertahan hidup oleh mesin, dengan makhluk yang masih berada dalam tubuh itu, berjuang untuk bertahan hidup dan membaik. Ada banyak perbedaan di sana, dan jika itu adalah seseorang yang Anda cintai, Anda akan bisa merasakannya. Anda bisa merasa bahwa masih ada seseorang di sana. Dan jika masih ada seseorang di sana, pastikan mesin penyokong hidup itu tetap menyala.
Salah seorang siswi saya pernah menceritakan kisahnya saat berada dalam koma. Saya mendengar kisah ini sebab ia sembuh total dan menceritakan kisah ini dalam forum umum mengenai bagaimana rasanya berada dalam keadaan koma selama berhari-hari. Ia bercerita bahwa ia berada di tempat yang sangat gelap. Ia tidak tahu berapa lama ia ada di sana, sebab di sana rasanya seperti tiada waktu, meski komanya terjadi selama beberapa minggu.
Kemudian, apa yang membawanya kembali ke kesadaran adalah suara lonceng wihara. Ia tidak tahu mengapa yang muncul adalah suara itu, akan tetapi suara itu membawanya dari kegelapan kembali ke tubuhnya. Begitu kembali ke dalam tubuhnya, ia menyadari ia tidak bisa berbicara atau bergerak, namun ia bisa melihat, mendengar, dan merasakan segala yang terjadi di sekitarnya. Namun, ia tak bisa merespon sekitarnya.
Beberapa saat kemudian, ia melihat putranya datang menjenguk. Hal ini tentu saja menggembirakan hatinya, tetapi ia tak bisa mengungkapkan bahwa ia merasa senang. Ia tidak bisa menanggapi kata-kata, ciuman-ciuman, atau saat mereka memegang tangannya.
Lalu ia merasa ketakutan saat dokter datang dan mengatakan bahwa ibu mereka tak punya harapan bisa pulih dari koma. Dokter itu meminta izin kepada anak-anaknya untuk mematikan alat penyambung hidup. Ia mendengar hal itu dan berpikir mati-matian, "Tidak! Aku masih ada di sini! Jangan matikan!" Tapi ia tak bisa menggerakkan mulutnya, atau bagian tubuh mana pun.
Karena ia adalah keluarga keturunan Tionghua, anak-anaknya yang lain berkata kepada putra sulungnya, "Nah, ini keputusanmu." Putra sulungnya berkata, "Jangan, jangan biarkan aku memutuskan sendirian! Aku butuh bantuan untuk mengambil keputusan untuk mematikan alat itu atau tidak."
Jadi mereka melemparkan tanggung jawab itu ke si sulung, dan ia harus memilih apakah ibunya akan mati tepat di sana atau menyambung hidup. Tentu saja, ibunya tak bisa menggerakkan bibir, mata, atau tubuhnya. Namun ia bisa menggerakkan pikirannya, ia berharap dan bertekad, memusatkan batinnya, "Jangan, putraku! aku masih di sini!"
Kemudian putranya berkata, "Jangan dimatikan. Beri Ibu kesempatan sehari lagi."
Dalam waktu 24 jam, ibu itu mampu menggerakkan tangannya, cukup untuk menunjukkan kepada dokter bahwa penyembuhan terjadi. Tentu saja, karena ia sendiri yang menceritakan kisah itu, ia sembuh total.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Cacing Dan Kotoran Kesayangannya 3!
EspiritualBuku ini adalah sekuel terakhir dari trilogi "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" yang telah menjadi best-seller di Indonesia selama tujuh tahun sejak sekuel perdananya diluncurkan. 108 cerita dalam buku ini menginspirasi kita untuk menjadi lebih p...