Chapter 20 - Promise

33 3 0
                                    

Author P.O.V

"Aku makan apa yang ada aja deh bi!" Jawab Jane saat ditawari makan di rumah Axel.

"Saya buatin nasi goreng telur mata sapi aja ya non?" Setelah Jane mengangguk, asisten rumah tangga Axel kembali ke dapur.

Sesuai janji Axel tadi siang, sore ini setelah selesai kerja kelompok Axel mengajak Jane makan di rumahnya.

"Abang lo?" Tanya Jane saat melihat foto keluarga berukuran besar yang tak jauh dari meja makan.

Di foto itu, seorang lelaki berumur sekitar dua puluh tahunan, seorang wanita paruh baya yang cantik, pria yang bertemu dengan mereka tadi siang, dan Axel. Mungkin paling lama foto itu diambil setahun yang lalu karena Axel sudah terlihat besar di situ.

Mereka berempat tersenyum, namun Jane dapat merasakan bahwa itu senyuman palsu yang membuat mereka terlihat bahagia, padahal tidak, terutama wanita paruh baya yang cantik itu.

"Iya, sekarang dia sekolah di Harvard sekalian punya perusahaan." Axel sekilas melihat foto itu.

"Ayah tahu sekarang abang kamu sudah punya perusahaan sendiri." Jane mengerucutkan bibir saat mengingat kejadian tadi siang.

"Hmm... Bunda dan abang lo kemana? Kelihatannya di sini lo cuman tinggal sendiri." Tanya Jane dengan hati-hati. Ya, rumah ini seakan tidak berpenghuni.

"Abang gue sekolah di Harvard." Jawab Axel tak acuh, namun sayangnya bukan itu yang Jane ingin ketahui.

"Kalau bunda lo?" Jane yang bodoh, tidak peka dengan keadaan.

Axel tidak berminat untuk menjawabnya, dia hanya memandang kosong meja makan yang luas namun sepi ini dan mengetukkan jarinya. Jane merasa tidak enak sendiri kalau memaksa Axel untuk bercerita. Mereka tetap diam sampai nasi goreng dihidangkan. Mereka makan dalam diam, namun akhirnya Jane membuka mulut.

"Hmmm.. Toilet di mana ya?" Tanya Jane dengan gugup.

"Di sebelah kiri tangga."

Jane segera beranjak pergi, namun toilet hanya modusnya untuk bisa pergi dan menyelidiki keberadaan orang lain di rumah Axel, siapa tahu dia bisa menemukan bunda Axel.

Di ruang makan, Axel mendengus dan menggelengkan kepalanya dengan geli memikirkan bahwa Jane ternyata sekepo itu akan urusannya. Suara sepatu Jane menaiki tangga sangat terdengar sampai ruang makan karena memang yang punya sepatu tidak berusaha memperkecil suaranya dan tidak rahu bahwa suara sedikit apapun akan terdengar di rumah sebesar ini.

Beberapa menit kemudian Jane turun dengan kecewa karena tidak menemukan siapa pun di rumah Axel. Lalu Jane berteriak kaget saat melihat Axel sudah duduk di tangga paling bawah menunggunya.

"Gak nemuin siapa-siapa ya dirumah gue selain pelayan-pelayan?" Tanya Axel tepat sasaran yang membuat pipi Jane merona malu.

"Kenapa sih lo kepo banget? Bukan urusan lo juga 'kan mau bunda gue di sini kek, di bulan kek, emang peduli lo apa?"

Jane menunduk, "maaf, gue cuman mau nyoba mau bantuin lo. Mungkin kalau gue tahu masalah lo, gue bisa bantu selesaiin."

"Cewek dingin, egois, dan gak peduli sekitar kayak lo bisa apa sih?" Tanya Axel, dia tidak benar-benar marah pada Jane. Hanya mau menge-test perempuan itu saja.

"Sekali lagi gue minta maaf karena udah campurin urusan keluarga lo, cuman dulu waktu gue punya banyak masalah, temen gue selalu ngebantuin gue. Sekarang mungkin gue bisa bantuin lo waktu lo punya masalah seperti apa yang temen-temen gue lakuin dulu." Jane tetap menunduk menyesal.

"Temen? Masalahnya dari dulu temen gue semuanya fake. Tapi kalau lo mau bantuin gue, ya terserah lo sih." Axel tersenyum saat melihat mata Jane berbinar semangat  menatapnya, "tapi ada syaratnya!"

"Apa?" Binar di matanya sedikit menghilang.

"Ada tiga syarat! Yang pertama, lo harus tutup mulut! Yang kedua, lo gak boleh pergi gitu aja setelah lo tahu masalah keluarga gue! Yah, lo tahu, banyak orang yang sebenarnya cuman pengen tahu doang, kalau udah tahu, dia bakal pergi ninggalin kita. Gue paling benci orang kayak gitu! Syarat ke tiga," Axel tersenyum jahil memikirkan 'rencana ke tiga'.

"Apa rencana ke tiganya?" Tanya Jane tak sabaran.

"Nah, syarat ke tiga bakal gue kasih tahu nanti setelah lo tahu semua rahasia gue, deal?" Axel mengangkat alis, tetap tersenyum jahil.

"Kok feeling gue gak enak ya sama syarat ke tiga?" Jane menelan ludah dengan parno.

Axel tertawa, "tenang! Gue gak bakal ngerusak atau nyakitin lo, gue bukan cowok brengsek. Syaratnya gampang banget kok!"

"Okey, deal!" Jane mengiyakan dengan terpaksa, toh kalau syaratnya merugikan dia bisa langsung meninggalkan Axel.

"Wait! Harus gue rekam dulu!" Axel mengambil handphonenya, "biar nanti lo gak bisa ngeles lagi kalau syaratnya gue tagih."

Jane mendengus saat melihat handphone Axel sudah dalam keadaan merekam, "gue janji akan menepati semua syarat yang diajukan Axelleo Evans."

Axel tersenyum puas. Sebenarnya ia juga tidak tahu bagaimana perasaannya pada Jane, masih abu-abu. Pada awalnya dia hanya mau menjaili perempuan dingin ini. Tapi, rasa peduli Jane padanya membuat hatinya tersentuh-walaupun rasa peduli itu diungkapkan dengan cara yang agak aneh.

Mungkin, hanya mungkin, Axel akan menganggap Jane teman sekarang.

"Mendingan lo ketemu langsung sama bunda gue," Axel menarik tangan Jane keluar rumah.

"Lah? Lo cerita disini aja apa susahnya sih?" Jane protes, namun tidak menyentakkan tangannya.

"Soalnya bunda gue selalu minta ketemu sama pacar gue!" Axel melepaskan tangannya saat mereka telah sampai di garasi.

Jane terdiam sesaat, lalu saat dia menyadari apa maksud dari ucapan Axel, dia memukul lengan cowok itu.

"Ish! Pacar apaan sih?! Jadi nyesel gue merasa peduli sama lo!" Semprot Jane saat Axel membukakan pintu mobil sport nya untuk Jane.

"Hehehe.. Makanya jangan sok peduli sama gue!" Goda Axel sambil menaik turunkan alisnya, "naik gih!"

"Kenapa sih lo gak bisa gak ngeselin satu menit aja?!" Gumam Jane sembari naik ke dalam mobil.

"Kalau gue gak ngeselin nanti gak seru!" Jawab Axel disertai kekehan.

Setelah menutup pintu mobil, Axel memutar untuk masuk ke kursi kemudi.

"Lo gak mau nyulik atau ngapa-ngapain gue 'kan?" Tanya Jane was-was saat Axel menekan pedal gas pada mobilnya.

"Ya ampun! Sekotor itu 'kah abang di mata adek?" Tanya Axel sembari mengelus dadanya sok kaget.

"Lebay lo! Ternyata lo tuh bukan cuman cowok paling ngeselin, tapi juga cowok paling lebay dan paling receh yang pernah gue kenal!" Hina Jane.

Axel tertawa lagi, "well, gue udah bilang. Walaupun gue ngeselin, tapi gue gak brengsek."

Axel menyandarkan badannya di jok mobil. Lama rasanya dia tidak tertawa lepas seperti ini kecuali bersama teman-temannya dan abangnya. Perempuan terakhir yang membuatnya tertawa seperti ini tak lain dan tak bukan, bundanya. Itu juga sudah bertahun-tahun yang lalu.

Sementara, yang di sebelahnya memejamkan matanya. Berusaha menghilangkan kenangan yang datang tanpa diundang. Ya, kenangan saat Jane pergi bersama 'dia'. Hal yang bisa ia lakukan hanyalah berusaha melupakan kenangan itu, seperti biasanya.

~~~

Happy reading!

ChooseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang