SM #8

1K 58 2
                                    



Davian terbangun ketika merasakan tenggorokannya kering, dilihatnya jam dinding yang baru menunjukkan lewat tengah malam. Ia segera bangkit dan berjalan menuju dapurnya untuk mengambil air minum. Tapi, baru saja keluar dari kamar, ia mendengar sesuatu dari kamar isterinya. Ia menajamkan pendengaran dan menempelkan telinganya di daun pintu.

Dengan perlahan ia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci itu, dilihatnya Lessi sedang duduk di pinggiran ranjang sambil menatap sesuatu yang ia yakini adalah selembar foto. Lampu tidur yang temaram membuatnya tidak bisa melihat foto apa yang dipegang oleh gadis itu. Namun suara isakannya terdengar makin jelas meskipun gadis itu berusaha menutup mulutnya dengan telapak tangan. Isterinya sedang menangis!

"Apa kau pikir aku baik-baik saja? Kenapa kalian tega berbuat ini padaku, kalian kejam!" desisnya sambil merintih, tangannya berpindah memegangi dadanya yang pasti terasa sesak menahan tangis.

Davian merasa tertohok melihat pemandangan di depannya, napasnya tercekat. Pasti berat baginya untuk tersenyum dan berpura-pura tegar seharian ini. Dia memang gadis yang kuat, tapi Davian melupakan satu hal, sekuat apapun gadis itu, dia hanyalah seorang wanita.

--

Samar-samar Davian mendengar bunyi ponselnya yang berdering, ia meraba-raba dan mendapati lantai yang keras sebagai alas tidurnya. Kenapa ia bisa tidur di lantai? Dan ini bukan kamarnya, pantas saja badannya terasa pegal dan kaku. Ia menggelengkan kepala untuk memulihkan ingatannya, ternyata ia tertidur di depan kamar Lessi ketika mendengarnya menangis semalam. Ia bermaksud untuk mengintip ke dalam kamar, ketika ponselnya terus menjerit di keheningan rumah itu. Hei, ini baru jam 6 pagi! Siapa yang meneleponnya di pagi buta seperti ini?

Davian segera menjawab teleponnya tanpa melihat karena takut Lessi terbangun di kamar sebelah, baru saja ia membuka mulutnya untuk berkata 'halo', sebuah suara bariton yang khas melengking di telinganya.

"DAVIAAANNN!!!"

Ia menjauhkan telinganya yang terasa pengang mendengar teriakan Ayahnya di seberang sana.

"Tidak usah teriak-teriak, Pa, aku belum tuli. Jangan-jangan Papa sudah ketularan bakat Oom Alex yang suka berteriak di telepon," gerutu Davian kesal.

"Apa-apaan kau ini, apa kau sudah tidak menganggap Papa sebagai Ayahmu lagi? Kenap–," tuuttt ... sambungan terputus.

Davian melirik ponselnya yang sedang sekarat, karena saking sibuknya kemarin, ia sampai lupa mengisi ulang baterai ponselnya. Ia mematikan ponselnya dan melemparkannya begitu saja di kasur. Hari ini ia tidak ingin diganggu oleh siapapun, apalagi kalau masalah pekerjaan. Ia akan mengambil cuti untuk menghibur isteri barunya tersebut.

"Tapi, bagaimana cara aku menghiburnya? Aku tidak boleh terlihat seperti pria sok manis di depannya. Tidak boleh! Mau ditaruh di mana mukaku?"

Davian berjalan ke dapur sambil bersungut-sungut untuk meneruskan niatnya semalam, ia membuka lemari es dan mengambil air mineral lalu meneguknya sampai habis. Sekilas matanya menatap bahan makanan di dalam lemari es-nya dan seketika senyumnya melebar. Ia mengambil beberapa butir telur, sayuran, daging dan keju lalu menaruhnya di meja dapur minimalisnya.

Entah sudah berapa lama ia tidak menggunakan dapur ini, apalagi memasak sendiri, ia lebih sering makan di luar atau memesan makanan. Tapi, dulu, sejak tinggal dengan Marina dan Ayahnya, mereka sering mendapat giliran untuk memasak setiap harinya, jadi memasak bukanlah hal baru untuknya.

Ia mengocok beberapa butir telur dan mencampurkan bahan lainnya untuk membuat omelette sederhana, lalu memotong roti dan selada untuk sandwich isi dagingnya. Tinggal membuat kopi dan secangkir teh hangat, maka selesai sudah semuanya.

Suara langkah kaki di belakangnya membuatnya berbalik, Lessi sudah berdiri di pintu dapurnya dengan muka kusut, rambut berantakan dan mata bengkaknya yang mengerikan.

"Wow, mengapa ada zombie sepagi ini?" sindir Davian, berusaha keras menekan kekhawatirannya sedalam mungkin.

Lessi menguap pelan, lalu melangkah dan menaruh pantatnya di kursi tinggi yang ada di dapur tanpa mempedulikan ucapan suaminya.

"Tidak bisa tidur, eh?" tanya Davian lagi, matanya tidak lepas dari omelette yang sedang digorengnya.

"Begitulah," Lessi mengangkat bahunya acuh, jelas tidak mau membahas masalah penampilannya. "Apa kau biasa memasak sarapan tiap pagi?"

Davian tahu gadis itu sedang mengalihkan topik pembicaraan, tapi ia tidak mau bertanya lebih lanjut. Toh, ia sudah tahu yang sebenarnnya.

"Tidak. Hanya kadang-kadang saja. Aku ini pria yang sibuk, tahu!" jawabnya angkuh.

Lessi mencibir sinis, "Baiklah, Mr. Sok Sibuk, maukah kau membuatkan omelette untukku juga? Aku kelaparan."

Gadis itu mengusap-usap perutnya berlagak sangat lapar, atau mungkin ia memang benar-benar kelaparan, mengingat kemarin ia tidak melihat gadis itu menyentuh makanan sama sekali.

"Sebenarnya aku tidak suka diperintah, tapi kali ini pengecualian. Cuci mukamu dulu baru kita sarapan sama-sama!" saran Davian tanpa menoleh, tapi ia tahu kalau gadis di belakangnya sedang cemberut.

"Oke, Mom!" dengusnya pelan, tapi tetap juga ia melangkah ke kamar mandi meskipun malas-malasan.

Davian tersenyum melihat tingkahnya, sepertinya menikah dengannya bukanlah suatu kesalahan.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Davian pada isterinya ketika mereka sudah selesai sarapan.

Lessi hanya mengangkat bahu, lalu kembali terlarut dengan televisi yang ditontonnya, meskipun Davian berani jamin kalau dia ditanya apa yang sedang ia tonton pasti gadis itu akan kebingungan.

"Kalau begitu, temani aku jalan-jalan," kata Davian lagi.

"Jalan-jalan?" ulang Lessi, "apa aku tidak salah dengar? Bukankah baru saja kau mengumumkan kalau kau itu pria yang sangat sibuk."

"Kita ini pengantin baru, ingat? Apa ada pasangan pengantin yang bekerja setelah sehari menikah?" Davian balik bertanya dengan wajah serius.

"Yah, kurasa kau benar, meskipun bukan seperti pengantin lainnya."

"Jadi, kau mau, kan?" potong Davian cepat, ia tidak mau mendengar kelanjutan perkataan gadis itu.

"Ke mana?"

"Terserah kau, aku tidak tahu tempat-tempat menarik di sini."

Mata Lessi melebar, "Benarkah aku yang menentukan tempatnya?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, lima belas menit lagi kita berangkat!"

Setelah berkata begitu, Lessi segera berlari ke kamarnya dengan penuh semangat. Davian hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan isterinya dan segera bersiap-siap. Namun, setelah hampir dua jam kemudian mereka masih berputar-putar dalam mobil, ia menjadi ragu dengan keputusannya membiarkan gadis itu memilih tempat. Semula, ia pikir kalau semua gadis pasti akan senang berbelanja di mall, dan sekarang mereka malah terjebak di tempat yang sama sekali asing baginya.

TBC

Sudden Marriage (Wedding Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang