SM #11

835 48 2
                                    


Davian segera berlari menyongsong ayahnya dan membuka pintu apartemennya dengan gugup. Alex Origa sama sekali tidak berkata apa-apa sampai mereka semua sudah masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu. Lessi hanya mengikuti mereka berdua tanpa berkata sepatah pun, ia hanya bisa menduga-duga dengan hati berdebar apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Papa, kenapa ...," belum sempat Davian menyelesaikan ucapannya, bel apartemennya berbunyi dengan nyaring dan tanpa henti. Membuatnya merutuki siapa pun yang bertamu ke rumahnya tengah malam buta dan membuat kegaduhan seperti ini.

Baru saja pintu terbuka, sebuah pelukan sudah menyambutnya sehingga membuatnya hampir terjatuh ke belakang karena terkejut. Hilang sudah semua kata-kata makian yang hampir saja ia lemparkan pada sang 'tamu' tersebut.

"Kakak! Selamat ya!" Marina mempererat pelukannya sehingga hampir membuat Davian kesulitan bernapas, untung saja adiknya itu segera melepaskannya.

"Kakak jahat!" Wajah adiknya berubah muram dalam seketika, membuatnya kebingungan. Di belakang Marina, Mario yang sedang menggendong Marcella, puteri kecil mereka yang baru berusia 3 tahun, hanya mengangkat bahu dengan gaya khasnya yang sok cool.

"Ada apa ini?" tanya Davian bingung.

Tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, Marina sudah masuk melewatinya dan menuju ruang tamu. Ia sudah sering berkunjung ke apartemen itu sehingga sudah hapal seluk beluknya, sementara suaminya harus bersusah payah menyeret koper besarnya sambil menggendong Cella yang tertidur. Mario sudah terbiasa menghadapi tingkah isterinya yang kadang suka seenaknya itu.

"Kakak ipar!" jerit Marina antusias.

Lessi hanya tersenyum dengan wajah kebingungan dalam pelukan Marina. Matanya memberi isyarat pada Davian kenapa mereka bisa ada di sini, tapi Davian sendiri tidak tahu alasannya. Jadi, ia hanya mengangkat bahu dengan pasrah.

"Kakak ipar, perkenalkan aku Marina, adik satu-satunya dari suami Kakak yang paling tampan tapi menyebalkan ini." Marina mengerling, sementara Davian hanya cemberut dikatai seperti itu, Lessi hanya tersenyum mendengarnya. "Ini suamiku, Mario Alexander, dia ini model terkenal, lho! Dan ini malaikat kecil kami, Marcella, kami biasa memanggilnya Cella."

Lessi memandang pria muda yang tampan yang tidak lain adalah adik iparnya tersebut, Mario melambaikan sebelah tangannya sambil tersenyum manis memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi. Ia membalas senyumnya dengan sopan. Di tangan adik iparnya, tergolek seorang gadis kecil dengan rambut ikalnya yang hitam dan mata terpejam. Gadis itu terlihat sangat cantik, sehingga Lessi merasa gatal ingin mengabadikannya dalam kameranya.

"Kakak ini Kak Lessi yang waktu itu mengangkat telepon Kak Davian, kan? Bagaimana caranya Kakak bisa menikah dengan kakakku yang dingin ini?" tanya Marina penasaran, ia duduk di sebelah Lessi dengan penuh minat.

"Rin, antar suami dan anakmu ke kamar dulu, sepertinya mereka kelelahan," kata-kata ayahnya terdengar dingin.

Marina segera mengerti situasi, ia mengajak Mario dan Marcella ke kamar yang kemarin dipakai Lessi.

"Papa ingin bicara denganmu, Davian," kata Alex Origa lirih.

Davian mengambil tempat duduk di samping isterinya, tapi Alex Origa mengajaknya ke tempat lain. Akhirnya mereka bicara di balkon kamar Davian, Ayahnya berdiri di depan pagar pembatas, tatapannya menerawang ke arah gedung-gedung pencakar langit di sekellingnya.

"Duduklah."

Davian duduk tanpa bersuara di belakang Ayahnya, ia tak bergerak di kursinya sambil menunggu kata-kata Ayahnya selanjutnya. Ia tidak tahu darimana keluarganya bisa tahu tentang 'pernikahan'nya ini, tapi ia sudah siap menerima segala resikonya.

"Selama ini Papa pikir, Papa sudah membesarkanmu dengan baik, memberimu pendidikan tinggi, membiarkanmu mendirikan usahamu sendiri, dan membuatmu mandiri. Selama ini Papa selalu bangga padamu, Nak, hanya kamu yang mampu meneruskan perusahaan Papa karena kamu satu-satunya anak lelaki yang Papa miliki. Papa sudah tua—"

"Pa! Papa bicara apa, sih? Papa sendiri yang bilang kalau Papa ini masih muda!" potong Davian, ia tidak suka arah pembicaraan ini, ia lebih suka dipukul atau dibentak-bentak daripada harus menyaksikan kelemahan Ayahnya sendiri.

"Apa kau tahu yang selama ini Papa inginkan?" tanya Alex Origa lirih, lalu menambahkan dengan suara bergetar, "Melihat pernikahanmu."

Davian membeku di tempatnya, perlahan tubuhnya merosot ke lantai dan berlutut.

"Maafkan aku, Pa, aku tidak bermaksud untuk menyembunyikan semua ini dari Papa, semuanya terjadi begitu saja," ucap Davian memelas, air matanya jatuh setetes demi setetes. Ia sudah membuat Ayahnya kecewa, Ayah yang sangat ia sayangi.

Alex Origa masih tidak bereaksi, keheningan di antara keduanya terasa mencekam dan detik demi detik terasa sangat menjemukan.

"Pa, kumohon, katakanlah sesuatu!" pinta Davian cemas, belum pernah ia melihat Ayahnya sediam ini.

Ayahnya berbalik perlahan, raut wajahnya masih tidak terbaca. Ia memegang pundak Davian dan menyuruhnya berdiri.

"Berjanjilah satu hal pada Papa."

"Apa pun itu, Pa, aku janji," kata Davian mantap.

"Baiklah, Papa akan menghubungi Om Alex Forbs untuk merencanakan pesta bulan depan." Wajah Ayahnya seketika berubah cerah, dengan seringai lebar di mulutnya.

Davian melongo, "Pesta? Pesta apa?"

"Tentu saja pesta pernikahanmu. Kita akan membuat pesta perayaan besar-besaran di Jakarta dengan mengundang semua teman dan rekan bisnis Papa. Papa dan Om Alex akan menyiapkan segala sesuatunya semewah mungkin dengan menyewa WO terbaik agar semuanya sempurna."

"Tidak, aku tidak mau!" teriak Davian keras.

"Kau sudah janji, ingat?" Alex Origa mengacungkan telunjuknya di depan wajah Davian.

"Tapi, tadi Papa ...," Davian segera tersadar akan rencana Ayahnya, ternyata Ayahnya memang belum berubah, "Jadi, tadi itu hanya sandiwara?"

"Yah, meskipun Papa memang sedikit kecewa karena kau tidak mengundang Papa di pesta pernikahanmu, tapi pesta nanti pasti bisa mengobati sedikit luka hati Papa, Davian. Papa terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, kau pasti tidak akan setuju dengan ide Papamu ini, bukan?"

Davian hanya ternganga, seharusnya ia menyadarinya sejak awal. Seharusnya ia belajar dari pengalaman atas pernikahan Marina dulu. Dulu Marina juga dijodohkan atas kehendak Papanya yang berpura-pura sakit demi melihat putri bungsunya itu segera menikah. Untung saja Mario tidak seburuk dugaannya selama ini, ternyata Papanya tidak salah memilihkan suami untuk adiknya.

"Anak lelaki Papa kini sudah menjadi seorang suami. Selamat, Nak!" Alex Origa merangkul anaknya dengan kencang, tapi ia tidak tahu kegelisahan di hati Davian.

Masihkah mereka menjadi suami istri sampai bulan depan?

"Oh, ya, Papa mau menemui menantu Papa yang cantik dulu, ya!"

Tanpa memedulikan Davian, Alex Origa berjalan keluar kamar anaknya dengan gagah, tapi beberapa saat kemudian ia mendongakkan kepalanya sedikit sambil berkata, "Well, ada sesuatu yang mengganjal pikiran Papa. Ngomong-ngomong, kau tidak menghamilinya duluan, kan?"

Davian terbelalak, "Apa? Tidak! Tidak!" menyentuhnya saja aku belum pernah, tambahnya dalam hati.

Alex Origa hanya terkekeh pelan, lalu kembali menghilang dan terdengar pintu kamarnya terbuka dan menutup dengan cepat. Davian terduduk lemas di lantai balkon, meratapi nasibnya mempunyai Ayah yang nyentrik seperti Ayahnya.

TBC

Sudden Marriage (Wedding Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang