SM #18

1.2K 66 10
                                    


Lessi mengernyit ketika tahu-tahu sinar matahari terasa hangat menerpa kulitnya. Ia mengerjap beberapa kali karena cahaya yang menusuk matanya. Butuh waktu satu menit baginya untuk sadar dan melirik jam dinding lalu memprosesnya ke otaknya.

"Huwaa ... sudah jam sembilan!" teriaknya kaget.

Ia segera melempar selimutnya lalu berlari ke kamar mandi setelah sebelumnya sempat tersandung sandal tidurnya sendiri. Ia menatap wajahnya di wastafel. Mata bengkak plus lingkaran hitam yang sangat jelas. Ia tidak bisa tidur tadi malam karena memikirkan Davian. Entah jam berapa ia baru bisa memejamkan mata sampai akhirnya ia bisa kesiangan. Kalau saja ia tidak terus-terusan memikirkan Davian. Tapi otaknya tidak mau mendengar.

"Davian!" Ia tersentak ketika kembali teringat pada suaminya. "Apakah dia baik-baik saja?"

Dengan terburu-buru, Lessi menggosok gigi dan mencuci muka, lalu menyisir rambutnya yang berantakan secara asal dan segera berlari keluar kamar. Tidak ada siapa-siapa.

"Apa dia sudah berangkat ke kantor?" gumam Lessi pada dirinya sendiri.

Karena penasaran, ia bermaksud mengintip ke kamar Davian, siapa tahu tidak terkunci. Ternyata benar. Pintu itu terbuka ketika ia memutar kenopnya. Cahaya dalam kamar masih terlihat gelap meskipun hari sudah agak siang. Itu karena gorden berwarna cokelat tebal yang masih tertutup. Tidak ada lampu sama sekali yang menyala, jadi ia memutuskan untuk membuka gorden itu dan membiarkan cahaya matahari masuk ke kamarnya.

"Astaga!" Lessi berteriak kaget ketika melihat sesosok tubuh sedang berbaring telungkup di ranjang. Hanya sedetik ia terkejut, karena kemudian ia bisa mengenali sosok itu adalah suaminya. Davian masih memakai kemeja dan celana panjang yang sama sejak semalam, bahkan lengkap dengan sepatunya.

"Davian," panggilnya pelan, ragu-ragu ia menggoyangkan bahunya namun tidak ada reaksi.

Ia mendekatkan tubuhnya pada Davian dan memanggilnya tepat di telinga.

"Hei, bangun."

Ada sesuatu yang aneh padanya, napasnya terdengar keras dan berat. Lessi mencoba menggoyangkan tangannya.

"Ya, ampun, panas sekali," serunya panik.

Dengan susah payah Lessi membalik badan Davian sehingga posisinya menjadi telentang dan melepas sepatunya. Diambilnya selimut tipis untuk menutupi tubuhnya, lalu ia bergegas ke dapur untuk mencari air dingin dan handuk kecil.

Setelah mengelap muka dan tangannya, Lessi meletakkan handuk kecil basah itu di kening Davian. Ia memperhatikan wajah suaminya yang terlelap, sesekali Davian meringis seolah menahan sakit, lalu kembali tenang.

Lessi mengganti bajunya dan mengambil dompet, ia harus membeli obat penurun panas di apotik karena kebetulan persediaannya habis. Setelah itu ia mampir ke supermarket. Setengah berlari ia segera ke kasir setelah menemukan barang yang ia cari. Tapi, matanya tertuju pada beberapa majalah yang berjejer di etalase. Biasanya ia tidak pernah tertarik pada majalah gosip, tapi tulisan yang terpampang di sana membuatnya menahan napas. Dengan setengah menutupi wajahnya, ia membeli majalah itu dan membayarnya dengan cepat.

Oh, tidak. Jangan-jangan Davian mabuk karena membaca majalah ini. Pasti dia sangat malu karena aku sudah menghancurkan nama baiknya.

"Davian ... oh, apa yang sudah kulakukan?" gumamnya panik.

Untuk sejenak Lessi melupakan majalah itu karena ia sibuk membuat bubur dan menyuapi suaminya. Davian mengerang ketika Lessi membangunkannya dan menyuapinya sedikit demi sedikit dalam keadaan setengah sadar. Hanya masuk tiga sendok kecil, tapi itu sudah cukup untuknya saat ini. Mata Davian kembali tertutup ketika dua obat penurun panas berhasil ia telan.

Sudden Marriage (Wedding Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang